Jurnal Edisi Juli - Desember 2024
SABDA HIDUP
THE IMPORTANCE OF SOUND DOCTRINE
(Annual Preacher's Workshop 2024)

Editorial
Jurnal Sabda Hidup pada semester ini (Juli - Desember 2024) mengetengahkan tema "The Importance of Sound Doctrine" (Pentingnya Doktrin yang Sehat), yang diangkat pada Annual Preacer's Workshop 14-15 November 2024 lalu. Topik-topik yang dipublikasikan melalui jurnal ini merupakan makalah-makalah dari para pembicara yang telah disampaikan di acara workshop. Kami yakin bahwa karya saudara-saudara seiman ini cukup dalam dan alkitabiah sehingga sangat berguna untuk dibagikan kepada jemaat-jemaat Tuhan di Indonesia agar memiliki pengetahuan tentang doktrin yang sehat dan mengimaninya serta mempraktekkannya. Paulus mengingatkan Timotius untuk memelihara ajaran yang sehat (1 Tim. 4:6). Mengapa? Karena sudah banyak orang tidak mau lagi menerima ajarah sehat (2 Tim. 4:3). Mereka mungkin berkata, “Saya rasa tidak ada bedanya apa yang Anda yakini selama Anda percaya Yesus adalah Juruselamat Anda dan Anda tulus.” Benarkah tidak ada bedanya doktrin apapun yang seseorang percaya? Tetapi, Paulus memperingatkan Timotius, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau” (1 Tim. 4:16).
Semoga 4 topik pertama dari tema ini akan mendorong semangat setiap orang Kristen untuk membacanya dan merenungkan tentang betapanya pentingnya mengikuti doktrin yang sehat.
The Christian and Morality
(Orang Kristen dan Moralitas)
Oleh Timul MT. Sirait
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka" (Kejadian 1:26-27).
Bukan rahasia lagi bahwa kita hidup di zaman “great immorality” (moralitas besar). Allah dan Firman-Nya diserang dari setiap sudut. Manusia dianggap tidak lebih dari seekor binatang yang tidak memiliki jiwa. So, we need a moral compass! (Jadi, kita membutuhkan kompas moral!)
Moralitas itu merupakan standar hidup yang benar. Sebuah kode etik yang dirancang untuk membuat kita layak dalam berurusan dengan Allah, sesama kita, dan diri kita sendiri. Sementara itu immoralitas adalah hidup dan membuat keputusan di luar kode moral tersebut. Biasanya, imoralitas dikaitkan dengan hawa nafsu.
Ada banyak topik lain dari moralitas, dan pertanyaan yang pasti adalah: Bagaimana standar moral itu ditentukan dan siapa yang berhak menentukannya?
Kode moral suatu masyarakat akan menentukan seperti apa masyarakat itu nantinya, baik atau buruk dan suka atau tidak suka, kita MEMERLUKAN kode moral yang mutlak!
Rencana keselamatan menyangkut dua hal: Pertama, bagian Allah, yaitu hanya Allah-lah sumber keselamatan. Oleh karena anugerah Allah-lah sehingga manusia selamat, "sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita, oleh kasih karunia kamu diselamatkan" (Efesus 2:5), "karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman, itu bukan hasil usahamu tetapi pemberian Allah" (Efesus 2:8). Kedua, bagian manusia, yaitu sesuatu yang harus dilakukan oleh manusia untuk memperoleh anugerah itu. Manusia wajib mempunyai iman, sebab "tanpa iman tiada berkenan kepada Allah, sebab barang siapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari dia" (Ibrani 11:6). Mempunyai iman adalah suatu hal, dan bagaimana untuk memperoleh iman adalah hal yang lain. Untuk memperoleh iman manusia harus mendengarkan injil Kristus (Roma 10:17). Dari bagian manusia ini akan dibagi lagi dalam beberapa bagian seperti Iman, Pertobatan, Pengakuan, Baptisan.
Apa Sumber Moralitas Kita?
Sudut pandang orang Kristen didasari oleh dua aksioma yaitu bahwa Allah itu Ada dan bahwa Allah berbicara melalui Alkitab. Orang Kristen wajib percaya ini! Karena kalau tidak, maka kita sama dengan “unbeliever” (orang tidak percaya) yg mencari kebenaran obyektif di samudera kebenaran subyektif.
Sebagai Manusia, Apa yang Kita Kenali Terlebih Dahulu, AGAMA ATAU MORALITAS?
Asal-usul moralitas diperdebatkan secara luas, tetapi secara umum diyakini bahwa moralitas muncul dari kebutuhan manusia untuk hidup dalam komunitas. Ketika manusia mulai hidup bersama, mereka perlu mengembangkan aturan dan norma untuk mengatur perilaku mereka dan memastikan kerukunan. Moralitas, dengan demikian, lahir dari kebutuhan untuk menjaga ketertiban sosial dan memfasilitasi kerja sama dalam masyarakat.
Pengertian moralitas sekular mengacu pada prinsip-prinsip perilaku yang mengatur benar dan salah, atau baik dan buruk. Ini adalah seperangkat nilai dan aturan yang membimbing tindakan manusia dan membantu kita menentukan apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat diterima dalam suatu masyarakat.
Moralitas membentuk dasar perilaku etis dan memberikan kerangka kerja untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab.
Moralitas Kristen adalah aspek mendasar dari iman Kristen dan didasarkan pada nilai-nilai dan ajaran yang terdapat dalam Alkitab.
Ideologi ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang beriman dan memandu perilaku pribadi dan publik mereka.
Moralitas Kristen terdiri dari serangkaian prinsip dan nilai, seperti martabat manusia, cinta, kebenaran, keadilan, kasih sayang, pengampunan, dan tanggung jawab, yang dimaksudkan untuk membantu orang hidup secara etis dan berbudi luhur.
“Saingan” terberat bagi moralitas alkitabiah adalah pergeseran nilai-nilai permufakatan sosial. Dengan kata lain, moralitas kita bisa dibentuk dan diubah oleh kebudayaan yang mengelilingi kita (ini sangat berbahaya!)
Adalah cukup mudah menilai bahwa berbekalkan permufakatan sosial sebagai sumber moralitas kita, moral kita akan selalu berubah. Permufakatan sosial adalah konsensus, atau cerminan dari sikap yang berlaku di masyarakat pada suatu waktu.
Sekitar satu atau dua generasi yg lalu, homoseksualitas, perceraian, dan perzinahan tidak dapat diterima dan dianggap dosa, namun pada zaman ini ada sebagian pemikiran sesat yang berusaha menormalisasi dosa-dosa tersebut dengan mengatasnamakan hak azasi manusia.
Dalam Alkitab permufakatan sosial seperti itu terjadi di tengah bangsa Israel, beberapa generasi setelah menduduki Tanah Perjanjian dimana “setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim 17:6). Orang-orang ini meninggalkan Allah, dan dalam dua generasi mereka melakukan apa yang jahat menurut pandangan Allah. Peran konsep ini dalam masyarakat telah menjadi bahan perdebatan dan kontroversi sepanjang sejarah.
Beberapa orang percaya bahwa moralitas Kristen harus menjadi dasar hukum mutlak dan keadilan sosial, sementara yang lain berpendapat bahwa itu harus menjadi masalah pribadi dan tidak berpengaruh pada masyarakat secara luas (selama itu membuatmu senang dan tidak mengganggu orang lain, just do it (lakukan saja). Terlepas dari perdebatan ini, moralitas Kristen tetap merupakan aspek penting dari iman Kristen dan kehidupan orang percaya, dan merupakan topik yang tetap relevan dan berpengaruh dalam masyarakat saat ini.
Kita harus mampu menjelaskan bahwa konsep moralitas ini berkaitan dengan nilai dan ajaran Yesus dari Nazareth, Anak Allah dan ditemukan dalam Alkitab, khususnya dalam Perjanjian Baru, yang didasari pada gagasan kasih pada Tuhan dan sesama (Hukum yang Terutama, Mat 22:37).
Para tokoh Moralitas dalam Alkitab
Alkitab dengan jelas berkata bahwa, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dan tentunya salah satu bagian pentingnya adalah menurut gambar dan rupa Allah yaitu kemampuan bermoral. Kita adalah agen moral yang membuat pilihan moral dan mampu membedakan kebenaran dan ketidakbenaran. Apa dasar untuk membedakan benar dan salah? Itu adalah pengetahuan kita akan hukum Allah, dan pengetahuan ini berasal dari dua sumber yaitu wahyu dan hati nurani.
Wahyu sendiri sebenarnya cukup jelas ketika Allah memberi perintah kepada Adam dan Hawa di Taman Eden. Ia juga memberi Sepuluh Perintah, serta beberapa hukum dan peraturan lainnya, kepada bangsa kaum Israel Allah di gunung Sinai. Yesus merangkum hukum-hukum Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru melalui dua perintah pokok: mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita. Semua ini mencerminkan wahyu Allah melalui hukum-Nya kepada umat-Nya, sebuah cerminan dari sifat moral Allah sendiri.
Alkitab juga mengajar bahwa Allah menulis hukum-Nya dalam hati kita (Roma 2:15). Inilah yang disebut hati nurani. Dalam kata lain, dengan wahyu Allah dalam perintah-perintah-Nya, intuisi kita mengetahui hukum Allah karena kita telah diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya. Akan tetapi, karena kejatuhan ke dalam dosa (Kejadian 3), gambar dan rupa-Nya di dalam hati nurani kita tercemar dan cacat. Jadi, meskipun kita dapat mengenali hukum Allah melalui hati nurani kita, seringkali kita menyimpangkannya demi keuntungan pribadi kita. Oleh karena itu, kita membutuhkan wahyu.
Alkitab, yang mengandung kehendak moral Allah melalui hukum dan perintah-Nya, adalah wahyu-Nya kepada umat-Nya. Dengan demikian Alkitab menjadi sumber moralitas kita karena Alkitab adalah Firman Allah secara tertulis (2 Tim 3:16; 2 Pet 1:21). Jika seorang Kristen ingin mengetahui kehendak Allah, ia dapat mencari perintah Allah bagi dirinya di dalam Alkitab. Jika seorang Kristen ingin membedakan yang benar dari yang salah, ia cukup mempelajari deskripsi kekudusan Allah di dalam Alkitab.
KESIMPULAN
Pertanyaan penting dan genting untuk dijawab, bagaimana jika seorang Kristen tidak mendasari moralitasnya dengan Alkitab? Banyak jawaban yang tersedia untuk pertanyaan ini, tapi intinya adalah bahwa kita cenderung mempercayai hati nurani kita. Hati nurani manusia dapat dikiaskan sebagai sistem keamanan, ada himbauan ketika kita melanggar standar moral kita. Tetapi hati-hati, karena kelemahannya adalah bahwa hati nurani kita hanya sebaik standar moral yang kita miliki, tidak akan pernah melampaui itu. Jika Alkitab tidak mendidik standar moral hati nurani kita, maka hati nurani kita akan dididik oleh pengertian lain yang tentunya menghasilkan konsekuensi yang akan menjadi penyesalan yang tidak berujung. So, pilih yang mana?