Jurnal Edisi Oktober - Desember 2021

Tema: "KEDUNIAWIAN"

Daftar Isi
  1. EDITORIAL
  2. PERCABULAN dan PERZINAHAN
  3. MASALAH—URGENSINYA
  4. PERNIKAHAN—LEMBAGANYA DIBENTUK OLEH ALLAH
  5. PERNIKAHAN—TUJUANNYA
  6. RUMAH TANGGA SEPERTI YANG DIKEHENDAKI ALLAH
  7. KEBERATAN TERHADAP RENCANA ALLAH TERJAWAB

EDITORIAL

Jurnal rohani Sabda Hidup yang mulai diterbitkan sejak tahun 2002, edisi Januari – Maret, sempat terhenti penerbitannya bulan April 2017 hingga September 2020. Mulai dari edisi Januari – Maret 2017, pendistribusian jurnal Sabda Hidup tidak lagi dalam bentuk hardcopy (buku), tapi sudah dalam bentuk softcopy (pdf). Kami yakin bahwa saudara-saudara dalam Kristus di Indonesia, yang selama ini rutin menerima distribusi jurnal Sabda Hidup per tiga bulan, pasti sudah rindu untuk mendapatkan artikel-artikel rohani selanjutnya untuk menjadi renungan pribadi demi pertumbuhan rohani dalam Kristus.

Mulai dari edisi Oktober – Desember 2020 lalu, jurnal Sabda Hidup mengetengahkan tema keduniawian. Tema ini sangat krusial, mengingat masalah keduniawian begitu kompleks dalam kehidupan umat manusia, tidak terkecuali dalam kehidupan orang-orang Kristen. Dan harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari setiap orang Kristen, bagaimana lepas dari masalah keduniawian dan hidup berkenan kepada Allah. Dalam kata pengantar buku Keduniawian, Michael Hatcher menegaskan, “Allah menuntut supaya manusia hidup kudus. “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat. 5:8). Paulus memerintahkan kepada Timotius: “janganlah terbawa-bawa ke dalam dosa orang lain. Jagalah kemurnian dirimu” (1 Tim. 5:22). Tetapi, hari ini kelihatannya bahwa hidup murni itu semakin sulit dijalani. Dunia ini penuh dengan kejahatan dan nampaknya semakin buruk dari hari ke hari…Semua bentuk keduniawian diterima sebagai sesuatu yang lumrah. Apa yang terjadi di dunia segera masuk ke dalam gereja Tuhan pula, bahkan sekarang keduniawian nampak di banyak jemaat. Banyak orang Kristen yang tidak peka dengan kejahatan dunia, tidak lagi sadar akan keduniawian.” Kondisi ini sangat menyedihkan dan memprihatinkan!

Oleh sebab itu, untuk membantu setiap orang Kristen menghadapi keduniawian, maka dalam jurnal edisi Oktober – Desember 2021 ini, topik yang diangkat adalah PERCABULAN DAN PERZINAHAN, yang masih berkaitan dengan keduniawian. Percabulan dan perzinahan merupakan salah satu masalah imoralitas terbesar di seantero dunia. Dosa nafsu dan daging ini (Matius 5:18; 1 Korintus 6:16, 18) adalah masalah besar di dalam gereja Tuhan juga, yang diakibatkan oleh pengajaran yang salah selain konsep kultural yang salah pula di masyarakat kita. Oleh sebab itu, orang Kristen perlu membaca secara seksama bahasan tentang topik ini untuk mendapatkan pengajaran yang benar dari Alkitab sebagaimana disajikan oleh penulis berikut ini.

PERCABULAN DAN PERZINAHAN

Oleh: Curtis A. Cates

PENDAHULUAN

Tidak pernah dalam sejarah negeri kita tercinta ada kebutuhan yang lebih besar untuk menetapkan rencana Allah sehubungan dengan pernikahan, perceraian, dan pernikahan kembali dan kutukan Allah atas “Percabulan dan Perzinahan.” Allah memang memiliki hukum tentang pernikahan!

Kita hidup di hari kemunduran dan kemerosotan moral, di hari pergaulan bebas dan kompromi, di hari etika situasional dan moralitas baru, di hari serba mengizinkan dan tidak ada standar objektif, di hari pemberontakan dan penghujatan, di hari keegoisan [mementingkan diri sendiri] dan kefanatikan, di hari sodomi dan hidup bersama [tanpa ikatan hukum pernikahan], di hari kenakalan anak dan orang dewasa. Sikap dan filosofi ini telah berdampak pada rumah-rumah tangga di Amerika, dan bahkan di dalam gereja Tuhan kita. Generasi yang lalu—dan bahkan dalam lima tahun terakhir—telah melihat perubahan dalam persaudaraan kita yang kuat sebelumnya. Saat kita berbicara di masa lalu dengan suara yang kuat dan bersatu melawan kejahatan pergaulan bebas dan perceraian, banyak suara yang tidak pasti muncul hari ini di gereja untuk merusak ajaran Kitab Suci yang berfungsi sebagai fondasi rumah tangga — benteng masyarakat dan gereja. Beban studi ini akan menjadi dasar untuk menggambarkan keluarga seperti yang Allah kehendaki, untuk mengamati beratnya gangguan terhadap rencana Allah untuk rumah tangga, untuk mengatasi dan memenuhi keberatan terhadap ajaran yang mengatur pernikahan dan kelanggengan rumah tangga, dan untuk membuat rekomendasi tentang bagaimana masalah ini dapat berhasil dipecahkan dan diredakan di dalam gereja.

MASALAH—URGENSINYA

Ketidaksucian seksual di pihak mereka yang tidak menikah adalah dosa yang menyedihkan dan sangat dan jelas dikutuk oleh Yahweh. Mereka yang berjalan menurut Roh tidak “menuruti keinginan daging;” salah satu perbuatan daging adalah percabulan (Gal. 5:16-21).1 Bahkan, Paulus mengatakan mereka yang melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan “tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah” (1 Kor. 6: 9-10). Rasul yang sudah lanjut usia itu memerintahkan Timotius, “Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2 Tim. 2:22). Petrus mendesak, "Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa" (1 Pet. 2:11).

Dosa seksual dimulai di dalam hati; itu dimulai dengan nafsu (Yakobus 1:14-15). Tuhan kita menyatakan: 
Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang (Matius 15:18-20).

Umat Allah menjauhkan diri dari hubungan seks sebelum menikah. Yusuf, ketika “isteri tuannya memandang Yusuf dengan berahi, lalu katanya: "Marilah tidur dengan aku," dan ketika dia “memegang baju Yusuf sambil berkata: "Marilah tidur dengan aku,” melarikan diri dan meninggalkan baju luarnya di tangannya [perempuan itu] (Kej. 39:7-12). Mengapa? Yusuf bereaksi: “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” Dia menolak untuk tidak bermoral!

Seseorang mungkin berkata: "Yah, kita hidup di zaman yang berbeda, dalam budaya yang berbeda." Pembaca yang budiman, baik budaya maupun "etika situasi" bukanlah standar tentang apa yang benar dan apa yang salah. Seks di luar nikah adalah dosa, itu selalu dosa, dan itu akan menjadi dosa sampai Tuhan datang kembali. Alkitab mengajarkan bahwa dosa memisahkan seseorang dari Allah (Yes. 59:1-2), menempatkan jiwa seseorang dalam bahaya, dan membawa kehancuran kekal kecuali meninggalkannya dan bertobat. Paulus berkata bahwa orang-orang Korintus yang menaati Injil telah bertobat dari percabulan mereka dan telah dibasuh dari kesalahan ini (1 Kor. 6:9-13). Tidak ada pezinah yang dapat diselamatkan dalam keadaan tidak dilahirkan kembali; hanya lautan yang menyala dengan api dan belerang yang menantinya (Wahyu 21:8). “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging -- karena keduanya bertentangan -- sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki” (Gal. 5:17). Seseorang tidak dapat, bahkan sangat tidak mungkin baginya untuk hidup dalam nafsu kedagingan dan percabulan dan pada saat yang sama hidup untuk Kristus. Sebuah pilihan harus dibuat: Tuan mana yang harus saya layani? 

Sosiolog secara universal mengklasifikasikan kerusakan rumah tangga, akibat perceraian dan pernikahan kembali, sebagai salah satu masalah sosial terbesar, tidak terkecuali sebagai masalah sosial bangsa kita. Dan, masalah ini bukanlah masalah yang terisolasi, karena semakin banyak negara yang mengalaminya. Peradaban abad lain telah mengalami krisis yang sama. Kekaisaran Romawi pada zaman Kristus ditandai dengan perceraian yang mudah dilakukan dan sering terjadi. Beberapa orang menghitung usia mereka dengan jumlah istri atau suami yang mereka miliki. Itu bertentangan dengan latar belakang di saat Perjanjian Baru ditulis. 

Saat ini, pernikahan dipandang hanya sebagai kontrak hukum, seperti membeli properti, yang dapat dibentuk dan dibubarkan sesuka hati. Hampir satu dari setiap dua pernikahan berakhir dengan perceraian. Banyak yang memandang pernikahan sebagai peninggalan antik, yang sudah usang dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman sekarang. Semakin banyak yang memilih "hubungan yang berarti" di antara orang dewasa yang hidup bersama ini, tidak menikah. Kita harus ingat bahwa perceraian dan hidup bersama di luar pernikahan dipandang beberapa tahun yang lalu sebagai hal yang memalukan dan sebagai karakteristik kaum cabul untuk melihat seberapa jauh kita telah bergerak di jalan menuju kehancuran. Siapa di dalam gereja yang bisa membayangkan bahwa beberapa orang dalam persekutuan kita akan menyimpang dari pendirian Kitab Suci?
 

PERNIKAHAN—LEMBAGANYA DIBENTUK OLEH ALLAH

Allah yang melembagakan pernikahan di Taman Eden. Setelah diarahkan untuk memberi nama kepada hewan dan mengamatinya untuk memilih pasangan yang cocok, Adam tidak menemukan "penolong yang sepadan dengan dia" (Kej. 2:20). Allah membius Adam dan mengambil salah satu tulang rusuk dari padanya yang darinya Dia menjadikan perempuan, yang menjadi “tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej. 2:23). Maksud Allah jelas: akan ada satu laki-laki dan satu perempuan seumur hidup. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24). 

Hanya Allah yang berhak membuat perjanjian perkawinan antara suami dan istri, dan Kitab Suci menetapkan syarat-syarat kontrak pernikahan itu. Tidak ada para pengacara atau para teolog liberal yang dapat melepaskan para pasangan menikah dari atau mengubah persyaratan kontrak. "Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat. 19:6). 

Sumpah pernikahan itu sakral. Akibatnya, seseorang harus masuk ke dalam pernikahan dengan penuh pertimbangan dan bijaksana, sambil bertekad untuk "takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya” (Pkh. 12:13).

PERNIKAHAN—TUJUANNYA

Paulus menyatakan bahwa pernikahan itu terhormat (Ibr. 13:4). Pertama, hubungan perkawinan dibentuk oleh hikmat Allah yang tak terbatas karena manusia membutuhkan pasangan hidup. Seseorang dapat menghargai alasan mengapa Tiga Pribadi membentuk Keallahan, dan dia dapat berpikir bahwa Allah menciptakan malaikat dan manusia menurut gambar-Nya sendiri. Dia menginginkan dan membutuhkan pasangan hidup, yang tidak dapat disediakan oleh binatang di bumi. “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:18).

Kedua, hubungan perkawinan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan biologis laki-laki dan perempuan (1 Kor. 7:1-5). Hubungan pernikahan itu adalah satu-satunya tempat di mana Allah mengizinkan pemenuhan hubungan badan. Ketiga, hubungan perkawinan dibentuk untuk kelangsungan eksistensi ras manusia. Setelah Hawa diciptakan dan sebelum dosa masuk ke dunia, Adam dan Hawa diperintahkan untuk beranakcucu dan memenuhi bumi (Kej. 1:28). Keluarga harus menyediakan tempat yang aman dan tenteram di mana anak-anak dapat dibesarkan dalam “ajaran [pengasuhan] dan nasihat Tuhan” (Ef. 6:1-4).

Keempat, hubungan perkawinan dibentuk untuk menumbuhkan moralitas dan industry yang penting bagi masyarakat dan gereja. Kelima, hubungan perkawinan dibentuk, paling penting, untuk membantu dan memungkinkan orang tua dan anak-anak untuk menjalani kehidupan kebenaran yang lebih berlimpah dan, dengan demikian, untuk dapat berjalan bergandengan tangan ke “negeri yang harinya tak berkesudahan.” Apakah mengherankan jika Allah menetapkan bahwa "seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup" (Roma 7:2)? Ketika seseorang menghargai rancangan Allah untuk pernikahan, dia dapat lebih menghargai betapa seriusnya perceraian dan pergaulan bebas.
 

RUMAH TANGGA SEPERTI YANG DIKEHENDAKI ALLAH

Peraturan Allah tentang rumah tangga sangat penting, dan akibat dari ketidaktaatan dan pengabaian perintah-Nya adalah malapetaka. 

Beberapa Definisi

Beberapa kata perlu didefinisikan. Percabulan (porneia), yang darinya kita mendapatkan kata “pornografi,” didefinisikan oleh Vine sebagai “hubungan seksual terlarang,”2 oleh Thayer sebagai “hubungan seksual terlarang secara umum,”3 oleh Arndt dan Gingrich sebagai “pelacuran, ketidaksucian, percabulan dalam segala jenis hubungan seksual yang melanggar hukum,”4 dan oleh Liddell dan Scott sebagai “pelacuran, percabulan, ketidaksucian.”5 Dengan demikian, percabulan mencakup homoseksualitas dan hubungan seksual dengan binatang, serta perzinahan. Zinah (moichos) lebih sempit artinya daripada percabulan. Ini didefinisikan oleh Vine sebagai “seseorang yang melakukan persetubuhan yang tidak sah dengan pasangan orang lain,”6 dan Thayer mendefinisikan bentuk kata kerjanya sebagai “melakukan hubungan seksual yang tidak sah dengan istri orang lain.”7 Perceraian(apoluo) didefinisikan oleh Vine sebagai “membiarkan lepas dari, membiarkan pergi begitu saja”8 dan oleh Thayer sebagai “digunakan dalam perceraian... untuk membebaskan dari rumah, untuk tidak mengakuinya lagi.”9 

Sikap Allah Terhadap Perceraian

Allah membenci perceraian! Sejak awal, Allah menghendaki pernikahan permanen (Mat. 19:6). Perintah ketujuh dari Sepuluh Perintah adalah: “Jangan berzinah” (Kel. 20:14), dan pelanggarnya harus dihukum mati (Im. 20:10). Maleakhi memperingatkan Israel:

Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu. Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel (Maleakhi 2:14-16).

Dalam Perjanjian Baru, peringatannya bahkan lebih kuat. Kristus mengintensifkan peraturan ini ketika Dia menyatakan:

Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya (Matius 5:27-28).

Dia melanjutkan:

Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah (Matius 5:31-32).

Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah (Matius 19:9; bdg. Markus 10:11-12; Lukas 16:18).

Selain itu, Rasul Paulus menyatakan: 

Apakah kamu tidak tahu, saudara-saudara, -- sebab aku berbicara kepada mereka yang mengetahui hukum -- bahwa hukum berkuasa atas seseorang selama orang itu hidup? Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain (Roma 7:1-3).

Dari ayat-ayat ini dan ayat-ayat Kitab Suci lainnya, seseorang mengamati bahwa Allah mengizinkan pernikahan kembali hanya dengan dua alasan: kematian pasangannya, dan ketidaksetiaan pada janji pernikahan di pihak pasangannya yang melakukan hubungan intim dengan binatang, homoseksualitas, atau perzinahan. Pihak yang dikhianati dapat menikah lagi (walaupun terlebih dulu pernikahan itu harus diselamatkan jika memungkinkan) jika dia benar-benar tidak bersalah. Pelanggaran terhadap 1 Korintus 7:3-5, yaitu, penipuan seksual terhadap pasangannya, bukan berarti tidak bersalah, tetapi juga tidak akan menghapus kesalahan dari pezinah.


Sikap Anak Allah Terhadap Perceraian

Salah satu contoh terbesar dalam Kitab Suci tentang penghormatan yang sepatutnya terhadap rumah tangga seperti yang diinginkan Allah ditemukan dalam diri Ayub, orang yang hidup di Zaman Patriak. Dia tidak memiliki manfaat yang lebih besar dari Zaman Musa atau pencerahan tertinggi dari Zaman Kekristenan. Dalam kitab Ayub, salah satu tulisan yang paling luar biasa dalam semua literatur (digambarkan oleh Luther sebagai "luar biasa dan agung tidak seperti buku lain dari Kitab Suci" dan oleh Tennyson sebagai "puisi terbesar dari pikiran kuno dan modern"), tokoh sejarah Ayub membela kesuciannya dan pengabdiannya yang tak bercacat pada sumpah pernikahannya.

Peristiwa-peristiwa dalam kitab itu terjadi selama Zaman Patriak, sebagaimana dibuktikan oleh hal-hal berikut ini. (1) Kitab ini berisi bahasa Aram dalam bentuk paling awal dan menyegarkan pikiran. (2) Ayub hidup lebih dari 200 tahun, dibandingkan dengan kehidupan para leluhur dan bukan dengan kehidupan di zaman Musa. (3) Tidak disebutkan banyak lembaga keagamaan dan politik Israel. (4) Ibadah dan keluarga digambarkan dalam bahasa patriarki. (5) Kekayaan Ayub sebanding dan melebihi kekayaan Abraham, Ishak, dan Yakub. (6) Nama Ayub telah ditemukan dalam dokumen-dokumen 2.000 tahun sebelum Kristus. (7) Tidak ada peristiwa sejarah dari panggilan Abraham dan seterusnya yang disebutkan. (8) Bentuk penyembahan berhala yang disebutkan adalah bentuk paling awal. (9) Kehidupan kota—tua-tua, hakim di gerbang kota, kepala suku, menjatuhkan dakwaan—masih awal. (10) Tidak ada keimamatan formal; Ayub menaikkan permohonan seorang juri. (11) Orang Sabea dan orang Kaldea masih perampok yang berkeliaran. (12) Satuan mata uang yang dirujuk di tempat lain hanya mengacu pada Yakub (Kej 33:19; Yos 24:32). (13) Kekayaan Ayub digambarkan dalam istilah yang sama dengan para bapa leluhur lainnya. (14) Anak perempuan Ayub adalah ahli waris dengan saudara laki-laki mereka, suatu hal yang tidak diperbolehkan dalam Yudaisme (Bil. 27:8). (15) Ayub mencukur rambutnya, yang akan melanggar hukum Musa (Ul. 14:1). Hal-hal ini dan banyak argumen lainnya menunjukkan kemungkinan tanggal untuk Ayub sezaman dengan waktu yang dijelaskan dalam Kejadian 10 dan 11. Pada zaman awal inilah Ayub hidup, menjunjung tinggi pernikahannya. 

Ayub telah dituduh dengan kejam oleh teman-temannya yang dianggapnya terpandang melakukan dosa yang menyedihkan, yang telah mendorong Allah untuk menghancurkannya. Tidak menyadari bahwa Ayub menderita karena kebenarannya, teman-teman itu beralasan:
  1. Semua penderitaan adalah hukuman atas kesalahan.
  2. Ayub menderita.
  3. Oleh karena itu, Ayub adalah orang berdosa.
Ayub bersih keras dan gigih mempertahankan integritasnya, dan dalam pasal 31 dia menegaskan dirinya tidak bersalah untuk terakhir kalinya dan membubuhkan tanda tangannya di atasnya. Bagian pertama dari pembelaan ini berkaitan dengan pelajaran kita. 

Pernyataan pertama Ayub tentang ketidakbersalahan adalah bahwa dia telah “menetapkan syarat bagi mataku, masakan aku memperhatikan anak dara?” (Ayub 31:1)? Seseorang harus mempelajari pemutusan perjanjian, seperti yang terlihat dalam Kejadian 15:8-18, di mana hewan menumpahkan darahnya dan kedua belah pihak lewat di antara bangkai — kutukan adalah bahwa orang yang melanggar perjanjian akan menerima kehancuran yang sama seperti yang diderita oleh hewan itu. Ayub telah membuat keputusan yang sungguh-sungguh bahwa dia tidak akan memandang seorang wanita dengan nafsu di dalam hatinya. Salomo memperingatkan, “Janganlah menginginkan kecantikannya dalam hatimu, janganlah terpikat oleh bulu matanya” (Ams 6:25). 

Bahkan dalam “agama patriarki lama,” Ayub memiliki kesucian hati yang sama seperti yang dituntut oleh Kristus dengan sungguh-sungguh dan tegas dalam Matius 5:8, 28. Ayub menolak setiap tatapan yang tidak suci, karena ia menghormati kesucian keperawanan dan ia mengatasi dosa bahkan dari sejak awal. “Dapatkah orang membawa api dalam gelumbung baju dengan tidak terbakar pakaiannya?” (Ams. 6:27)? Ayub tidak akan tidak setia kepada istrinya dan kepada Allah dalam menghadapi pandangan yang penuh dosa dan nafsu. Allah mengetahui setiap langkahnya dan setiap motif pikiran rahasianya. Kegiatan seperti itu tidak hanya mendatangkan kemalangan dan malapetaka dalam hidup ini, tetapi juga kehancuran ketika Allah membawa setiap perbuatan ke dalam penghakiman (Ayub 31:2-4). 

Pernyataan Ayub yang kedua tentang ketidakbersalahan adalah: “Jikalau hatiku tertarik kepada perempuan, dan aku menghadang di pintu sesamaku, makabiarlah isteriku menggiling bagi orang lain, dan biarlah orang-orang lain meniduri dia” (Ayub 31:9-10). Di sini Ayub menyangkal pernah melakukan perzinahan. Tertarik atau terpikat berasal dari bahasa Ibrani yang berarti "membuka, menjangkau." Dia tidak dengan cerdik ditipu atau dijebak oleh seorang perempuan yang sudah menikah. “Hai anakku, jikalau orang berdosa hendak membujuk engkau, janganlah engkau menurut” (Ams 1:10). Dia juga tidak pernah diam-diam menunggu tetangganya meninggalkan rumah agar dia bisa berzinah dengan istri tetangganya. Hal seperti itu telah/dipraktikkan secara luas oleh orang-orang yang tidak bermoral. “Yang menyeberang dekat sudut jalan, lalu melangkah menuju rumah perempuan semacam itu, pada waktu senja, pada petang hari, di malam yang gelap” (Ams. 7:8-9). Kejahatan seperti itu akan menimbulkan penghinaan di pihak istrinya. Hanya kuatnya kejahatan dan pengetahuan penuh tentang kepolosannya yang akan menyebabkan dia menerapkan hukuman berat ini atas dirinya sendiri—penodaan istrinya sendiri oleh orang lain. Itu akan lebih buruk daripada kematiannya.

Ayub menahan diri dari dosa perzinahan yang menyedihkan. “Karena hal itu adalah perbuatan mesum, bahkan kejahatan, yang patut dihukum oleh hakim” (Ayub 31:11). Tidak hanya orang yang terlibat dalam perzinahan adalah penjahat, tetapi dia juga bersalah atas tindakan yang keji (mesum). Itu menyebabkan luka terdalam, merampas kehormatan dan kebaikan moral, menghancurkan rumah tangga, dan mempermalukan seluruh keluarga. Ini disebut sebagai bentuk pembunuhan. Tidak heran Ayub menyatakan bahwa “api yang memakan habis…menghanguskan” (Ayub 31:12) dan Salomo memperingatkan: “Atau dapatkah orang berjalan di atas bara, dengan tidak hangus kakinya? Demikian juga orang yang menghampiri isteri sesamanya; tiada seorang pun, yang menjamahnya, luput dari hukuman” (Amsal 6:28-29).

Dalam kitab Ayub, orang melihat sikap terhadap kesucian pernikahan yang ditunjukkan oleh seorang laki-laki yang "saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" (Ayub 1:1). Bisakah anak Allah menjadi kurang saleh dan jujur?


KEBERATAN TERHADAP RENCANA ALLAH TERJAWAB

Berjam-jam, berhari-hari, dan bertahun-tahun telah dicurahkan [waktu dan daya upaya] untuk mencari tahu cara-cara di mana hukum Allah dapat dielakkan dalam bidang-bidang doktrin, tidak sedikit di antaranya dalam bidang pernikahan, perceraian, dan pernikahan kembali, di mana beberapa orang berusaha untuk membuat perceraian kurang mengerikan. Beberapa dari keberatan ini dan sanggahannya sebagai berikut.


Perceraian Tidak Pernah Benar

Pertama, beberapa orang mencoba untuk menghindari rencana Allah dengan mengatakan bahwa Matius 19:9 tidak berlaku sekarang tetapi merupakan bagian dari Hukum Musa. Jadi, tidak ada orang yang berhak, bahkan dalam kasus percabulan, untuk menceraikan pasangan dan menikah dengan orang lain. Pengecualian Kristus bukanlah bagian dari Hukum Musa; Kristus membuatnya sangat jelas dalam konteks dan dalam Matius 5:31-32. Banyak pernyataan Kristus berlaku hari ini, meskipun tidak ada penulis epistel yang mengulangi prinsip itu—“janganlah kamu menyebut siapa pun bapa” (Mat. 23:9) dan “sampaikanlah soalnya kepada jemaat” (Mat. 18:17) adalah kasus-kasus yang sama intinya. Allah memang melindungi orang yang tidak bersalah dari pasangan yang bertindak criminal atau jahat. Seseorang harus ingat bahwa perceraian tidak diperintahkan oleh Kristus. Pihak yang dikhianati dapat menunjukkan kasih karunia kepada pasangan yang bertobat, seperti dalam kasus Hosea dan Gomer, dengan demikian memungkinkan untuk menyelamatkan pernikahan. 

Sebab itu, sesungguhnya, Aku ini akan membujuk dia, dan membawa dia ke padang gurun, dan berbicara menenangkan hatinya. Aku akan memberikan kepadanya kebun anggurnya dari sana, dan membuat lembah Akhor menjadi pintu pengharapan. Maka dia akan merelakan diri di sana seperti pada masa mudanya (Hosea 2:13-14).

Musa Mengizinkan Perceraian

Beberapa orang mencoba untuk menghindari rencana Allah dengan alasan bahwa karena Musa mengizinkan perceraian dan pernikahan kembali untuk segala alasan, hal itu diperbolehkan hari ini; Kristus menolak penalaran seperti itu (Mat. 19:3-9), dengan mengacu pada hukum Allah yang asli [awal] dan universal. Dengan menggunakan orang yang menderita, Yesus menunjukkan bahwa Allah memegang hidung dan menahan perut-Nya (melalui upaya yang paling sulit) Musa mengizinkan perceraian atas beberapa alasan karena cacat kasih karunia di hati orang Ibrani. Latihan ini adalah persiapan sampai Benih itu datang (Gal. 4:1-7). Hukum Musa memang meningkatkan kesulitan untuk mendapatkan perceraian—proses hukum adalah wajib. Hukum memang mengangkat tingkat moral orang Yahudi. Namun, Maleakhi menunjukkan bahwa Allah masih membenci perceraian (Mal. 2:16). Perceraian yang diizinkan oleh Musa ini telah dipakukan di kayu salib, sama seperti hal-hal lain yang diizinkan menurut hukum Musa (Roma 7:4; Kol. 2:14).

Negara Mengizinkan Perceraian

Beberapa orang mencoba untuk menghindari rencana Allah dengan alasan bahwa karena pemerintah mengizinkan perceraian untuk hampir semua alasan, maka perceraian pasti benar. Negara tidak memiliki hak untuk mengesahkan apa yang dilarang oleh Allah dan membenarkan penyatuan dua orang yang tidak memiliki dasar Kitab Suci untuk menikah satu sama lain. Kita harus menaati Allah daripada manusia (Kisah Para Rasul 5:29) dan berhati-hati untuk tidak "menjadi serupa dengan dunia ini" (Roma 12:2). Daniel akan dibenarkan dalam meminum minuman keras dan memakan daging yang najis dan daging yang dipersembahkan kepada berhala, jika perintah raja membuatnya benar (Daniel 1:5, 8).

Banyak Orang Bercerai

Beberapa orang mencoba untuk menghindari rencana Allah dengan alasan bahwa itu adalah hal yang populer untuk dilakukan, oleh karenanya itu benar. Paulus menyatakan, “Jauhkanlah dirimu dari percabulan!” (1 Kor. 6:18) dan, “Janganlah kita melakukan percabulan, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang dari mereka, sehingga pada satu hari telah tewas dua puluh tiga ribu orang” (1 Kor. 10:8). Ketika orang-orang kafir melakukan perzinahan, Paulus memperingatkan: “disebut saja pun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus” (Ef. 5:3). "Janganlah engkau turut-turut kebanyakan orang melakukan kejahatan” (Kel. 23:2).

Hukum Allah Tentang Perceraian Tidak Berlaku Untuk Non-Anak Allah

Beberapa orang mencoba untuk menghindari rencana Allah dengan mencoba menyangkal bahwa non-anak-anak Allah dapat menerima hukum Allah tentang pernikahan. Mereka yang ada di dunia ini bebas untuk menikah, bercerai, dan menikah lagi sebanyak yang mereka inginkan; tetapi jika dan ketika mereka dibaptis, maka pasangan hidup mereka yang sekarang harus berlanjut seumur hidup. Menurut alasan ini, mereka tidak berbuat dosa, karena mereka tidak berada di bawah hukum Taurat (Rm. 4:15). Orang bertanya-tanya, apakah ini benar, bagaimana Paulus dapat menggolongkan orang Kristen di Korintus sebagai pezinah, pemabuk, dan pencuri sebelum mereka dibaptis (1 Kor. 6:9-11)? Orang juga bertanya-tanya bagaimana di usia harus bertanggungjawab seseorang terpisah dari Allah, kalau bukan melanggar hukum? Satu-satunya cara lain yang mungkin [dianggap] adalah seseorang itu dilahirkan sudah mewarisi akhlak yang bobrok. Hukum apa yang dilanggar oleh orang Sodom yang menyebabkan kehancuran total mereka? Perhatikan dosa-dosa, termasuk homoseksualitas, dari orang-orang asing dalam Roma 1:20-32! Bukti yang menunjukkan bahwa semua manusia berada di bawah hukum Allah dapat berlipat ganda (Kisah Para Rasul 17:30-31; Efesus 2:1-3; Roma 2:12-16; 1 Petrus 4:3-5; Efesus 2:12; Kolose 3:5-7, dll.).

Seseorang Tidak Bisa Hidup Dalam Perzinahan

Beberapa orang mencoba untuk menghindari rencana Allah dengan menegaskan bahwa seseorang tidak bisa “hidup dalam perzinahan” adalah tindakan satu kali, yang terjadi saat dua orang bersatu. Orang Kolose, sebelum pertobatan mereka, berjalan dan hidup dalam percabulan dan dosa-dosa sebelumnya (Kol 3:5-7). Kata kerja "berbuat" dalam Matius 19:9 adalah dalam bentuk present tense [waktu sekarang], dengan demikian menunjukkan tindakan kebiasaan, liniar, terus menerus. Dengan demikian mereka berjalan [hidup] dalam keadaan berzinah.

Perzinahan Disucikan Oleh Baptisan

Beberapa orang mencoba untuk menghindari rencana Allah dengan menyarankan bahwa baptisan mengampuni keadaan perzinahan. Akankah mereka yang memegang posisi ini menegaskan bahwa baptisan mengampuni orang yang tetap melakukan penyembahan berhala, pencurian, atau sodomi (1 Kor. 6:9)? Seperti disebutkan sebelumnya, orang dalam hubungan perzinahan seperti itu terus melakukan perzinahan selama keadaan itu eksis. Jadi, mereka yang menegaskan posisi ini mengabaikan doktrin pertobatan: " Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu," desak Petrus (Kisah Para Rasul 2:38). Dapatkah seseorang membayangkan Yohanes Pembaptis memberi tahu Herodes bahwa baptisan yang akan membuat pernikahannya menjadi pernikahan yang alkitabiah, setelah memerintahkan, “Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan” (Mat. 3:8)? Dapatkah seseorang membayangkan seseorang diberitahu bahwa baptisan akan menghapus kesalahan merampok bank, sementara dia menyimpan jutaan dolar; atau mencuri seekor kuda, sementara dia tetap mempertahankan kuda itu di padang rumputnya? "Kaki orang lumpuh tidak sama!" alias mustahil sama sekali!

Para Bapa Gereja Awal Menyetujui Perzinahan

Beberapa orang mencoba mengelak dari rencana Allah dengan merujuk pada tulisan-tulisan [bapa-bapa] Kristen mula-mula dan kebisuan para penulis tentang masalah itu. Beberapa kelemahan ada pada posisi ini. Satu, kita hanya memiliki sedikit dari tulisan-tulisan itu. Dua, seseorang dapat mempertahankan hampir semua hal dalam agama dari kebungkaman para bapa gereja awal. Tiga, penalaran seperti itu menempatkan tulisan-tulisan itu setara dengan Firman Allah yang diilhami dan tidak salah dan bahkan menggunakannya untuk bertentangan dengan ajaran-ajaran para rasul yang jelas. Apakah saudara-saudara yang sama akan menggunakan alasan seperti itu untuk membela isme premilenial, baptisan bayi, atau gnostisisme? Permohonan terhadap tulisan-tulisan yang tidak diilhami seperti itu, diakui atau tidak, menuduh bahwa Kitab Suci tidak sempurna dan tidak mampu melengkapi seseorang sepenuhnya untuk setiap pekerjaan baik (2 Timotius 3:16-17).

Melukai Orang yang Tidak Bersalah

Beberapa orang mencoba untuk mengelak dari rencana Allah dengan menyatakan bahwa anak-anak yang tidak bersalah kena dampak dengan melaksanakan perintah Kristus. Sangat menyedihkan dan disayangkan bahwa orang yang tidak bersalah menderita atau terluka; Namun, fakta ini tidak mengubah keputusan Kristus. Mereka yang berpendapat demikian tidak ragu melaksanakan perintah Kristus dalam hal perkawinan termasuk orang Kristen. Apakah Allah memiliki dua hukum yang mengatur pernikahan, satu untuk non-Kristen dan satu untuk Kristen? Jalan orang yang melampaui batas itu berat, entah bagi orang yang melampaui batas maupun keluarganya. Orang-orang Yahudi harus melepaskan istri asing mereka, tidak peduli istri dan anak-anak yang terkena dampaknya (Ezra 10:1-12; Neh. 13:23-27). Ya, orang yang tidak bersalah menderita, tetapi hukum Tuhan tetap berlaku; dan, tetap bertahan hingga hari ini!

Mencintai Berarti Berkompromi

Beberapa orang mencoba untuk mengelak dari rencana Allah dengan menuduh bahwa kita tidak mengasihi orang lain. Gereja harus menunjukkan kasih kepada mereka yang terlibat dalam pernikahan yang tidak berdasarkan Alkitab dengan benar-benar peduli. Kasih Allah tidak pernah membuat-Nya melanggar keadilan-Nya dengan berkompromi dengan dosa, juga kasih dalam orang Kristen tidak akan menyerukan atau membenarkan pertentangan dengan rencana Allah untuk pernikahan.

Pasangan yang Bersalah Bisa Menikah Lagi

Beberapa orang mencoba untuk menghindari rencana Allah dengan mengatakan bahwa pihak yang bersalah dapat menikah lagi setelah pihak yang tidak bersalah menikah lagi. Ajarannya adalah bahwa perceraian dan pernikahan kembali dari pihak yang tidak bersalah telah memutuskan hubungan, dengan demikian membebaskan yang bersalah untuk menikah lagi. Teori ini akan membuat Kristus memberikan dua pengecualian, bukan satu. Juga, teori ini akan melanggar prinsip menabur dan menuai, karena ia akan mendapat upah dari dosanya sendiri (Gal. 6:7-8). Jalan pihak yang tak bersalah tidak akan sulit, seperti yang terjadi pada si pelanggar (Ams. 13:15). Itu juga akan mengundang orang untuk merencanakan cara untuk membebaskan diri dari kewajiban pernikahan yang tidak diinginkan. Ini membuat Allah menghukum dosa yang lebih kecil lebih berat daripada menghukum dosa yang lebih besar (Roma 7:1-3; Mat. 19:9). Dan, pasangan dalam pernikahan saling terikat, tidak hanya satu sama lain tetapi juga dengan Allah, melalui hukum universal-Nya yang mengatur pernikahan. Seseorang mungkin saja bebas dari pasangannya yang tidak bersalah karena dia menikah lagi; namun, dia tidak bebas dari hukum dosa dan, dengan demikian, tidak dapat menikah kembali.

KESIMPULAN

Krisis yang terjadi di masyarakat kita dan di gereja mengenai kurangnya rasa hormat terhadap rencana Allah untuk pernikahan dan keluarga dapat berhasil dihadapi dan dikurangi dengan hal-hal berikut. Pertama, dalam mempelajari topik Alkitab apapun, seseorang tidak boleh membiarkan prasangka dan emosi pribadi membutakan matanya terhadap kebenaran sederhana dan jelas dari Firman Allah—kebenaran yang dapat dilihat seseorang, seandainya ia tidak mendapat bantuan dari orang lain atau oleh gagasan prasangkanya sendiri sehingga salah paham. Kedua, seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terlibat dalam malpraktik hermeneutis, tetapi ia harus menggunakan prinsip-prinsip interpretasi yang baik dalam pendekatannya terhadap subjek ini, seperti yang kita tuntut dari dunia sektarian. Ketiga, seseorang harus belajar dan mengajarkan rencana Allah untuk pernikahkan kepada anak-anaknya dalam keluarganya. Empat, penatua, penginjil, dan guru kelas Alkitab harus mengajarkan prinsip-prinsip ini di gereja, dan para penatua harus mendukung prinsip-prinsip ini dengan menjalankan disiplin yang tepat. Lima, setiap pasangan dalam pernikahan harus menjaga kesucian hati dan kehidupan yang ketat. Enam, pasangan pernikahan harus menunjukkan cinta agape sejati—cinta yang tidak bersyarat dan berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan pasangannya (1 Kor. 13:3-7). (Dialihbahasakan oleh: Harun Tamale).


CATATAN AKHIR
1 Semua kutipan ayat Alkitab dalam artikel aslinya dari King James Version, namun dalam artikel terjemahan ini dari Alkitab Terjemahan Baru terbitan LAI.
2 W. E. Vine, An Expository Dictionary of New Testament Words (Old Tappan,
NJ: Fleming H. Revell Company, 1966), 2:125.
3 Joseph Henry Thayer, Greek-English Lexicon of the New Testament (Grand
Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1976), p. 532.
4 William F. Ardnt and F. Wilbur Gingrich, A Greek-English Lexicon of the New
Testament and Other Early Christian Literature, Second Edition (Chicago, IL: The
University of Chicago Press, 1979), p. 693.
5 Henry George Liddell and Robert Scott, A Greek-English Lexicon (Oxford,
England: Clarendon Press, 1968), p. 1450.
6 Vine, 2:32-33.
7 Thayer, p. 417.
8 Vine, 1:329.
9 Thayer, p. 66.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar