Jurnal Edisi Januari - Maret 2022

Tema: "KEDUNIAWIAN"

Daftar Isi
  1. EDITORIAL
  2. HEDONISME
  3. HEDONISME DIDEFINISIKAN
  4. HEDONISME DIDEMONSTRASIKAN
  5. HEDONISME DIKALAHKAN

EDITORIAL

Jurnal rohani Sabda Hidup yang mulai diterbitkan sejak tahun 2002, edisi Januari – Maret, sempat terhenti penerbitannya bulan April 2017 hingga September 2020. Pada jurnal edisi-edisi sebelumnya, jurnal dicetak dalam bentuk buku dan kemudian dalam bentuk softcopy (pdf), maka mulai edisi Januari - Maret 2022, Jurnal Sabda Hidup sudah dimuat melalui blog. Hal ini dilakukan dengan alasan kenyamanan membaca bagi mata. Kami berharap dan mendorong saudara-saudara dalam Kristus di Indonesia, semakin tinggi minat bacanya tentang hal-hal rohani untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan yang akan membantu setiap individu Kristen hidup sesuai dengan hukum Kristus selama hidup di dunia yang sementara ini, dan pada akhirnya akan memperoleh jaminan kehidupan yang kekal di surga kelak.

Pada jurnal edisi Januari – Maret 2022 masih mengetengahkan tema keduniawian. Tema ini sangat krusial, mengingat masalah keduniawian begitu kompleks dalam kehidupan umat manusia, tidak terkecuali dalam kehidupan orang-orang Kristen. Dan harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari setiap orang Kristen, bagaimana lepas dari masalah keduniawian dan hidup berkenan kepada Allah. Dalam kata pengantar buku Keduniawian, Michael Hatcher menegaskan, “Allah menuntut supaya manusia hidup kudus. “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat. 5:8). Paulus memerintahkan kepada Timotius: “janganlah terbawa-bawa ke dalam dosa orang lain. Jagalah kemurnian dirimu” (1 Tim. 5:22). Tetapi, hari ini kelihatannya bahwa hidup murni itu semakin sulit dijalani. Dunia ini penuh dengan kejahatan dan nampaknya semakin buruk dari hari ke hari…Semua bentuk keduniawian diterima sebagai sesuatu yang lumrah. Apa yang terjadi di dunia segera masuk ke dalam gereja Tuhan pula, bahkan sekarang keduniawian nampak di banyak jemaat. Banyak orang Kristen yang tidak peka dengan kejahatan dunia, tidak lagi sadar akan keduniawian.” Kondisi ini sangat menyedihkan dan memprihatinkan!

Oleh sebab itu, salah satu topik yang tidak kalah penting untuk dimuat dalam jurnal ini adalah HEDONISME, yang masih berkaitan dengan keduniawian. Hampir dipastikan bahwa masih banyak di antara orang Kristen yang asing dengan istilah hedonisme. Hedonisme, singkatnya filosofi kenikmatan duniawi. Ketika filosofi hidup yang demikian dianut oleh seseorang, maka dia dapat dikatakan seorang hedonis. Dan hal itu bisa dinilai dari berbagai kebiasan hidup hedonistik. Oleh sebab itu, orang Kristen perlu membaca secara seksama materi bagus ini sehingga mendapatkan pencerahan yang akan membantunya merubah filosofi hidup hedonistiknya dan hanya hidup sesuai firman Allah sebagai standar hidup tertinggi di dunia ini.

HEDONISME

Oleh B. J. Clarke

PENDAHULUAN

Sekali lagi, tema yang luar biasa telah dipilih untuk acara seminar tahunan Bellview. Gereja Tuhan menghadapi banyak kesulitan dan tantangan di zaman sekarang ini, dan masalah keduniawian itu benar dekat bagian atas dalam daftar. Faktanya, almarhum dan yang terhormat saudara Franklin Camp pernah berkata bahwa, menurut penilaiannya, keduniawian adalah ancaman terbesar bagi gereja Tuhan saat ini.

Ini bukan mengatakan bahwa keduniawian adalah satu-satunya ancaman bagi gereja Kristus saat ini. Penyusupan filosofi dan praktik denominasi juga merupakan ancaman besar bagi kesejahteraan tubuh Kristus saat ini. Namun, banyak anggota gereja, yang tidak pernah bermimpi untuk menyerah pada denominasi, bersalah karena menyerah pada keinginan daging. Misalnya, beberapa orang tua, yang tidak mau kembali merenungkan sedikitpun apakah baptisan itu penting untuk keselamatan, tidak ada salahnya meninggalkan pertemuan orang-orang kudus untuk menghabiskan akhir pekan dengan santai di danau atau pantai. Selain itu, pakaian mereka di tempat ini sering tidak sopan dan provokatif.

Sekali lagi, beberapa orang tua, yang dengan gigih mempertahankan gagasan bahwa hanya ada satu gereja yang benar, juga akan mempertahankan keputusan untuk mengirim putra-putri mereka pergi ke tempat itu, tanpa peduli sedikit pun dengan suasana duniawi yang terkait dengan kegiatan semacam itu. Untuk bukti lebih lanjut seberapa banyak keduniawian telah menyusup ke dalam gereja, cukup pindai daftar topik yang membentuk seminar ini dan pikirkan berapa kali Anda telah melihat saudara-saudara dalam gereja lokal berjuang menghadapi hal-hal ini. Seminar ini sangat dibutuhkan!
Tugas khusus saya, dalam kerangka keseluruhan tema ini adalah untuk mengkaji filsafat hedonisme. Rencana penyelidikannya adalah sebagai berikut: (1) Mendefinisikan filosofi hedonisme; (2) Mendemonstrasikan hedonisme, yaitu memberi contoh laki-laki dan perempuan
yang telah mempraktekkan filsafat hedonisme; dan (3) Kekalahan hedonisme, yaitu, menunjukkan konsekuensi destruktif karena mempraktekkan hedonisme. Dalam kesimpulannya, kita akan menunjukkan jalan bagaimana cara hidup yang lebih baik yang pada akhirnya akan menuntun kepada kenikmatan terbesar dari semuanya!

HEDONISME DIDEFINISIKAN

Karena kata hedonisme bukanlah bagian dari kosakata kita sehari-hari, perlu untuk mendefinisikan istilah ini. Dalam Kamus Filsafat, hedonisme didefinisikan sebagai “prinsip bahwa kebahagiaan (didefinisikan dalam istilah kenikmatan) adalah satu-satunya tujuan yang tepat dari tindakan manusia.”1 Kaum hedonis percaya bahwa tujuan akhir hidup adalah untuk mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit. Bertahun-tahun yang lalu, sebuah iklan di televisi mengingatkan pemirsanya bahwa Anda hanya berkeliling sekali seumur hidup—oleh karena itu “Pergilah bersenang-senang!" Dapatkan semua kenikmatan yang Anda bisa selagi bisa! Singkatnya, itulah arti hedonisme.

Sebenarnya hedonisme bukanlah hal baru. Asal-usulnya dapat dilacak sampai ke Taman Eden. Lebih jauh, seperti yang akan kita tunjukkan di bagian selanjutnya, praktik hedonisme digambarkan dengan jelas pada halaman-halaman Kitab Suci. Dalam disiplin formal filsafat, hedonisme menemukan akarnya dalam budaya Yunani kuno, khususnya di sekolah Kyrenia (yang para pengikutnya dikenal sebagai golongan Stoa) di bagian akhir abad keempat SM. Kyrenia  adalah hedonis penuh, menjalani hidup mereka dengan pengabaian total dan sembrono. Filosofi mereka adalah “Pemanjaan Total—Nol Rasa Bersalah”.

Akhirnya, para filsuf Yunani mengangkat filsafat hedonisme ke tingkat menjadi agama. Mereka berpendapat bahwa orang yang berada dalam keadaan kesadaran normal tidak akan pernah dapat menemukan pengetahuan yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang terpenuhi. Oleh karena itu, seseorang harus beralih kepada Dewa Yunani Dionysius untuk menemukan kebebasan dari keterbatasan pengetahuan manusia. Metode untuk mencapai tujuan ini adalah dengan seseorang minum sampai mabuk supaya dia bebas dari semua hambatan. R.C. Sproul menjelaskan:

Orang-orang percaya bahwa dalam keadaan mabuk mereka bisa melakukan kontak dengan dunia supranatural selama pengalaman mistik “euforia” mereka, sebuah pengalaman yang disebut bukan “menjadi rendah”, tetapi “menjadi tinggi.”...Selain hal ini, ada juga serangkaian keterlibatan seksual termasuk kuil pelacuran. Pelacur dapat membantu seseorang istirahat menurunkan hambatannya sehingga dia bisa melakukan kontak dengan para dewa dan— mengalami perasaan ekstasi yang merupakan pelepasan jiwa.2

Obsesi yang dijelaskan alkohol dan seks di atas terdengar familiar, bukan?

Bentuk hedonisme yang lebih halus (tetapi tidak kalah berbahaya) dikembangkan oleh seorang filsuf Yunani bernama Epikurus, dan para pengikutnya, yang  dikenal sebagai golongan Epikuros. Seperti Kyrenia seabad sebelumnya, Epicurus mempromosikan pengejaran kenikmatan sebagai tujuan utama dalam hidup. Pertimbangkan perkataan Epicurus, yang ada dalam isi surat yang dia tulis kepada
Menoceus berikut ini:

Karenanya kami menyebut kenikmatan sebagai Alfa dan Omega dari kehidupan yang diberkati. Kenikmatan adalah kebaikan pertama dan keluarga kita. Ini adalah titik awal dari setiap pilihan dan setiap keengganan, dan kepadanya kita kembali, sejauh kita jadikan perasaan sebagai aturan untuk menilai setiap hal yang baik.3

Kata-kata di atas tampaknya mencerminkan keyakinan yang sama dari kaum radikal hedonis yang mendahului Epikurus. Namun, ada perbedaan mencolok antara Epikurus dan Kyrenia. Epikurus menganjurkan lebih banyak pendekatan yang bermartabat untuk mencari kenikmatan. Daripada menjalani hidup dengan pengabaian yang sembrono, Epikurus mengajukan gagasan bahwa seseorang dapat menikmati hidup dengan mengejar tingkat kenikmatan yang lebih muktahir. Dia dan pengikutnya berusaha untuk mendapatkan kenikmatan tanpa kehilangan semua kendali atas pancaindera. Faktanya, kamus mendefinisikan epikur sebagai “seseorang yang memupuk rasa yang halus, khususnya dalam hal makanan dan anggur; penikmat.”4 Seorang Epikuros didefinisikan sebagai seorang yang “menyukai atau beradaptasi dengan kemewahan atau pemanjaan dalam kenikmatan sensual; memiliki selera atau kebiasaan mewah, khususnya dalam hal makanan atau minuman.”

Oleh karena itu, bentuk hedonisme Epikuros menganjurkan indulgensi (kenikmatan), tetapi dengan batasan-batasan tertentu. Oleh karena itu, dalam surat yang sama kepada Menoeceus yang disebutkan di atas, Epicurus menulis:

Jadi, ketika kami mengatakan bahwa kesenangan adalah tujuan akhir, kami tidak bermaksud kenikmatan anak yang hilang, atau kenikmatan sensualitas, seperti kita dipahami untuk dilakukan oleh beberapa orang, melalui ketidaktahuan, prasangka atau kekeliruan yang disengaja. Kenikmatan yang kami maksud adalah tidak adanya rasa sakit di tubuh dan masalah dalam jiwa.6

Dengan demikian, golongan Epikuros memandang hal keterlaluan sebagai sesuatu yang harus dihindari karena rasa sakit yang akan datang setelah kenikmatan dari kegiatan tertentu telah menguap. Sedangkan golongan Kyrenia berpendapat bahwa kenikmatan sesaat selalu harus dicari, golongan Epikuros menegaskan bahwa mengembangkan kehidupan nikmat total lebih unggul daripada hidup untuk kenikmatan dunia sesaat. Ini bukan untuk mengatakan bahwa golongan Epikuros adalah orang-orang bermoral ketat. Sebaliknya, mereka mendorong pengejaran kenikmatan, bahkan jika itu berarti berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang didefinisikan oleh Paulus sebagai “perbuatan-perbuatan daging” (Gal. 5:19-21).7 Golongan Epikuros percaya bahwa tindakan yang benar secara moral adalah yang paling menghasilkan kenikmatan. Namun, sebuah tindakan secara moral salah jika menghasilkan rasa sakit daripada kenikmatan. Sekali lagi, Sproul menguraikan:

Golongan Epikuros mengerti bahwa jika Anda terlalu banya menikmati anggur, maka hasilnya tidak akan seperti kenikmatan yang luar biasa dari anggur yang enak, tapi mabuk yang mengerikan di hari berikutnya. Demikian juga, jika Anda terlalu memanjakan diri dengan aktivitas seksual, maka kemungkinan resiko besarnya bahwa Anda akan mengalami penyakit kelamin yang akan menyengsarakan masa depan Anda .... Menyadari biaya yang harus dibayar demi kenikmatan, maka golongan Epikuros mencoba menciptakan kenikmatan dan rasa sakit yang seimbang. Misalnya, mereka percaya itu harus menjaga kenikmatan pada tingkat yang moderat; hanya sedikit perzinahan itu sudah
cukup untuk membumbui hidup dan membuat kegembiraan mengalir dalam hati manusia.8

Oleh karena itu, “orang yang paling berbudi luhur adalah dia yang paling sering dapat memastikan dan memilih kenikmatan yang paling memuaskan sebisa mungkin, sambil menghindari pengalaman yang menyakitkan.”9 Bagi Epikuros, menghindari rasa sakit sama pentingnya dengan mengejar kenikmatan.

Dengan penekanan Epikuros pada pengejaran kenikmatan duniawi sebagai tujuan akhir kehidupan, dan tekanan yang sesuai dengan kebutuhan untuk menghindari rasa sakit semua semua akibatnya, mudah untuk melihat mengapa para filsuf Epikuros melampiaskan permusuhan mereka terhadap rasul Paulus di Atena (Kisah Para Rasul 17:18dst). Lagi pula, dasar dari pesan Paulus yang diilhami bertentangan dengan segala aspek filosofi mereka. Dia mengajarkan bahwa Allah telah menjadi daging [manusia] (1 Tim. 3:16) dan bahwa, dalam tindakan penyangkalan diri yang terakhir, “Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:5-8).

Selanjutnya, Paulus menggambarkan rasa sakit dan penderitaan salib sebagai pendahuluan kebangkitan dan kenaikan Kristus, pada saat itu Dia menerima kenikmatan tertinggi karena ditinggikan oleh Bapa (Fil. 2:9). Tidak hanya itu, tetapi yang terburuk dalam pandangan Epikuros, Paulus mengajarkan bahwa Yesus akan kembali untuk menghakimi semua orang menurut perbuatan mereka dan juga memberi mereka upah atau hukuman yang sesuai (Kisah Para Rasul 17:31; 2 Kor 5:10).

HEDONISME DIDEMONSTRASIKAN

Meskipun kata hedonisme tidak muncul dalam Alkitab bahasa Indonesia kita, "kenikmatan" dalam Lukas 8:14 dan Titus 3:3 adalah bentuk dari kata Yunani hedone. Bentuk serupa dari kata tersebut diterjemahkan sebagai “kenikmatan” dalam 2 Petrus 2:13 dan sebagai "hawa nafsu" dalam Yakobus 4:1, 3. Selain itu, kata bahasa Indonesia hedonisme tidak harus muncul di Alkitab agar kita dapat menemukan perilaku hedonistik dalam Alkitab, yaitu, mereka yang mengejar kenikmatan egoistis mereka sendiri dengan mengorbankan ketaatan kepada Allah.

1. Adam dan Hawa. Jauh sebelum para filsuf Yunani mengemukakan gagasan hedonisme, satu tindakan hedonistik oleh Hawa (dan Adam) di Taman Eden yang memperkenalkan kesedihan dan rasa sakit ke dunia kita. Memang Adam dan Hawa tidak pernah tercatat sebagai pendukung gagasan hedonistik bahwa tujuan utama hidup adalah mengejar kenikmatan, tetapi sudah pasti bahwa tindakan berdosa mereka dimotivasi oleh keinginan untuk mengalami kenikmatan. Bahkan, teks menyatakan:

Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya (Kej. 3:6).

Berabad-abad kemudian, Yohanes meringkas keduniawian sebagai “keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup” (1 Yohanes 2:16). Hawa dimotivasi oleh nafsu [keinginan] daging ketika dia melihat "bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan.” Dia termotivasi oleh keinginan mata ketika dia melihat bahwa buah pohon itu ”sedap kelihatannya”. Dia memanifestasikan keangkuhan hidup ketika dia memakan buah karena keinginannya untuk menjadi bijaksana, seperti Allah. Adam menyerah pada pengaruhnya dan berpartisipasi dalam pelanggaran terhadap Allah ini. Akibatnya, mereka diusir dari Taman, dan kehidupan di bumi berubah dramatis menjadi buruk.

Kisah mereka mengingatkan kita bahwa itu tidak membutuhkan kehidupan hedonistik yang tak henti-hentinya untuk membawa konsekuensi bencana. Satu tindakan terisolasi untuk mencari kenikmatan dapat membawa konsekuensi seumur hidup, tidak hanya untuk para pencari sensasi tetapi juga bagi mereka yang terpengaruh oleh keputusan. Berapa kali seseorang, mencari kenikmatan dari minuman alkohol, membawa konsekuensi yang menghancurkan dan permanen ke dalam hidupnya (dan kehidupan orang lain yang tak terhitung jumlahnya) dengan minum minuman keras sambil mengemudi dalam keadaan mabuk?

2. Penghuni bumi sebelum air bah. Dengan pengecualian Nuh, dan keluarganya, manusia yang tinggal di bumi sebelum air bah sangat hedonis sedemikian rupa, sehingga setiap imajinasi pikiran hati manusia hanya semata-mata jahat (Kej. 6:5). Musa menggambarkan dunia kuno bobrok dan penuh dengan kekerasan (Kej. 6:11). “Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi” (Kej. 6:12). Tragisnya, obsesi manusia terhadap kenikmatan duniawi mendatang akibat yang mahal: kehancuran dalam air bah dan hilangnya jiwa (Kej. 6:13). Sebaliknya, "Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya” (Kej. 6:9). Dia mendapat kasih karunia di mata TUHAN; dia dan keluarganya diselamatkan oleh Tuhan.

3. Penduduk Sodom dan Gomora. Berdasarkan Kejadian 13:13, “Adapun orang Sodom sangat jahat dan berdosa terhadap TUHAN.” Tuhan menggambarkan dosa mereka sesungguhnya sangat berat (Kej. 18:20). Deskripsi perilaku norak mereka dicatat dalam Kejadian 19. Hedonisme mereka dalam bentuk homoseksualitas. Kehancuran mereka adalah akibatnya (Kej. 19:24-29).

4. Esau. Sebuah contoh klasik mencari kenikmatan sesaat adalah keputusan Esau untuk menukar hak kesulungannya dengan kepuasan langsung dari semangkuk sup (Kej. 25:29-34; Ibr. 12:15-17). Intinya, Esau rela mengorbankan berkat masa depan demi kenikmatan sesaat. Dia begitu terlena dengan memuaskan rasa laparnya saat dia kehilangan semua akal sehat tentang apa paling penting. Esau mungkin sangat menikmati semangkuk sup itu, tapi kenikmatannya hanya sesaat.

Demikian pula, ada jutaan pria dan wanita di bumi saat ini yang memiliki roh Esau. Suku Afrika memilih raja baru setiap tujuh tahun sekali. Dapat dipahami bahwa selama tujuh tahun pemerintahannya, raja suku memiliki semua kekuasaan atas suku. Semua keinginannya dikabulkan. Dia memiliki akses ke semua kekayaan. Setiap wanita yang dia inginkan dari suku itu bisa dia ambil untuk memuaskan keinginannya. Satu hal lagi yang dipahami tentang tujuh tahun pemerintahan raja itu: pada akhir pemerintahannya orang-orang dari suku itu, sesuai dengan adat suku, akan mengelilingi raja dan membunuhnya. Sekarang, Anda akan berpikir bahwa setelah melihat peristiwa biadab yang baru saja terjadi ini maka tidak ada yang akan melangkah maju dan sukarela menjadi raja berikutnya. Namun, tidak pernah kekurangan laki-laki yang ingin menjadi raja. Intinya, para laki-laki ini bersedia mengorbankan sisa harapan hidup jika mereka dapat memiliki apa pun yang mereka inginkan selama tujuh tahun. Kita tergoda untuk menghapus sikap mereka yang dibesarkan dalam iklim yang kejam dan biadab. Namun, penyakit pikiran yang sama mempengaruhi banyak orang Amerika yang beradab. Mereka menginginkan apa yang mereka inginkan, dan mereka menginginkannya sekarang—bahkan sekalipun harus kehilangan berkat masa depan dari rumah di surga.

5. Yehuda dan Tamar. Dalam Kejadian 38, kita menemukan kisah kotor Tamar, menantu perempuan Yehuda, yang berdandan seperti pelacur dan membuat dirinya tersedia bagi Yehuda. Yehuda, yang tidak tahu itu adalah menantu perempuannya sendiri, meminta jasanya sebagai pelacur (Kej. 38:15-18).
Belakangan, ketika Yehuda mencoba mengirim bayaran kepada pelacur itu, dia diberitahu bahwa dia [Tamar] tidak ditemukan.

Akhirnya, tersiar kabar kepada Yehuda bahwa menantu perempuannya, Tamar, telah "bersundal" dan, akibatnya hamil. Yehuda memerintahkan agar dia dibawa keluar dan dibakar. Namun, ketika dia
keluar, dia menunjukkan cap meterai, gelang, dan tongkat Yehuda sebagai bukti bahwa dia adalah pria yang bersamanya dalam perbuatan prostitusi ini. Kehausan Yehuda akan kenikmatan seksual mendatang sakit hati dan rasa malu yang besar bagi dia dan keluarganya. Tindakan hedonistiknya sangat menonjol
kontras dengan Yusuf, di pasal berikutnya, yang menolak rayuan istri Potifar (Kej. 39:7-10). Yusuf menemukan lebih banyak kenikmatan dalam kesetiaa melayani Allah, dan tuannya Potifar, daripada dia menikmati kenikmatan sesaat dengan melakukan percabulan bersama istri Potifar.

6. Akhan dan Gehazi. Meskipun Allah secara tegas telah melarang orang Israel untuk secara pribadi mengambil bagian dari rampasan kemenangan atas Yerikho (Yos. 6:18-19), kehausan Akhan akan kenikmatan menjadi kaya melebihi keinginannya untuk menyenangkan Allah. Saat dia melihat rampasan kemenangan, dia melihat "jubah yang indah, buatan Sinear, dan dua ratus syikal perak dan sebatang emas yang lima puluh syikal beratnya ” (Yos. 7:21). Dia mendambakan barang-barang ini, mengambil barang-barang ini, dan menyembunyikannya di dalam kemah dalam tanah. Dia tahu bahwa dia melakukan kesalahan, tetapi kenikmatan sesaat menjadi lebih penting baginya daripada ancaman hukuman di kemudian hari.

Ternyata, Akhan belajar apa yang dipelajari oleh begitu banyak pencari kenikmatan — kenikmatan sesaat ini tidak sebanding dengan menahan rasa sakit dan konsekuensi yang datang di masa akan datang. Dia dan keluarganya dilontari batu dan dibakar sampai mati (Yos. 7:25). Jika Akhan bisa
berbicara kepada kita dari seberang lembah, apa yang akan dia katakan tentang moto hidup hedonis untuk kenikmatan sesaat?

Orang yang memiliki kecenderungan yang sama seperti Akhan adalah Gehazi, hamba Elisa. Setelah penderita kusta, Naaman, ditahirkan dari kusta, dia menawarkan kepada Elisa hadiah (2 Raj. 5:15). Namun, Elisa menolak hadiah itu dan menyuruh Naaman pergi. Gehazi, hamba Elisa, tidak bisa
percaya bahwa Elisa telah membiarkan Naaman pergi tanpa menerima kekayaan yang ditawarkan Naaman. Jadi Gehazi memutuskan untuk mengejar Naaman dan "menerima sesuatu dari padanya" (2 Raj. 5:20).

Ketika Naaman melihat Gehazi berlari, dia menghentikan kereta dan bertanya apakah semuanya baik-baik saja. Gehazi berbohong, mengatakan bahwa tuannya telah mengirimnya untuk mengambil setalenta perak dan dua potong pakaian dari Naaman untuk membantu dua muda dari rombongan nabi (2 Raj. 5:22). Meskipun hanya Gehazi meminta satu talenta perak, Naaman dengan murah hati memberinya dua talenta perak. Dia juga menyumbangkan dua potong pakaian yang telah diminta oleh Gehazi.

Ketika Gehazi kembali ke rumah, dia mengambil uang dan barang itu dan menyembunyikannya di rumahnya. Lalu dia masuk dan tampil di depan Elisa. Ketika Elisa bertanya dari mana dia, dia berbohong lagi, mengatakan bahwa dia tidak ke mana-mana. Namun, sedikit yang dia tahu bahwa Elisa mengetahui apa yang telah dilakukannya. Elisa menegurnya dan mengumumkan kutukan kusta atas dirinya dan keturunannya untuk selama-lamanya (2 Raj. 5:26-27).

Betapa menyedihkan, sangat menyedihkan masa depan Gehazi, dan masa depan keturunannya, ditentukan oleh satu momen hedonistik ketika lapar akan kenikmatan menjadi kaya memotivasinya untuk berbohong dan mencuri. Dia, dan Akhan, akan tercatat dalam sejarah sebagai korban dari filosofi
hedonisme.

7. Daud. Pada pergantian tahun, pada waktu raja-raja biasanya pergi berperang, Daud mengirim Yoab sebagai gantinya. Suatu petang dia bangun dan berjalan di atas soto rumahnya dan melihat seorang perempuan cantik yang mandi. Alih-alih berpaling dari pandangannya, dia menatap, dan dia berhasrat. Dia mulai mencari tahu nama perempuan itu, dan itu tidak lama sampai dia mengirim utusannya untuk mengambilnya untuk datang ke rumahnya. Daud berzinah dengan dia dan mengandung seorang anak.

Mengetahui bahwa akan sulit untuk menjelaskan bagaimana Batsyeba mengandung, dengan suaminya, Uria yang bermil-mil jauhnya berada di medan perang, pengaturan segera dibuat untuk membawa Uria pulang sebentar. Namun, integritas Uria lebih dari yang ditawarkan Daud dalam rencana halusnya. Uria menolak untuk menikmati kenyamanan tempat tidur yang nyaman sementara rekan-rekannya berkemah di medan terbuka. Tidak berpengaruh rencananya untuk menutupi dosanya, Daud memerintahkan Uria untuk ditempatkan di garis depan pertempuran sengit, dan kemudian ditinggalkan, maka dia akan tewas. Lagipula, Daud tahu bahwa kalau Uria sudah mati maka tidak pernah bisa bersaksi bahwa dia bukanlah ayah bayi Batsyeba. Sesuai rencana, Uria tewas dalam pertempuran.

Kisah yang luar biasa ini mengajarkan kita bagaimana hasrat untuk memperoleh kenikmatan sesaat (inti dari apa yang dimaksud dengan hedonisme) sering kali menjadi langkah pertama ke sejumlah pelanggaran dan tragedi lainnya. Jika Daud tidak begitu berniat memenuhi nafsunya dengan Batsyeba, maka dia tidak akan pernah bermimpi bersekongkol untuk membunuh suaminya. Meskipun menakjubkan bahwa Daud kemudian bertobat dari dosa-dosanya (Mazmur 32; 51), hasratnya adalah awal dari masalah yang bertahan lama!

8. Amnon. Kisah lara Amnon yang memperkosa saudara perempuannya satu lagi pengingat bahwa hedonisme bukanlah hal baru bagi umat manusia. Nas menyatakan bahwa Amnon sangat tergoda sehingga dia jatuh cinta pada saudara perempuannya, Tamar yang masih perawan, tetapi dia tidak tahu bagaimana melakukan sesuatu padanya. Sahabatnya, Yonadab, seorang yang sangat licik, menyuruh Amnon berpura-pura sakit dan meminta agar saudara perempuannya datang untuk memberinya makan dan pulih kekuatannya.

Amnon melaksanakan rencananya dan meminta ayahnya Daud untuk menyuruh Tamar datang kepadanya di saat dia sakit. Dia pergi ke rumahnya, mengambil tepung, mengadonnya, membuat kue, dan memanggang kue tepat di depan matanya. Namun, ketika dia membawa kue kepadanya untuk disajikan, dia menolak untuk makan dan memerintahkan semua orang untuk meninggalkan ruangan kecuali Tamar. Dia membujuk Tamar untuk membawa kue ke kamarnya jadi dia bisa memakannya di sana.

Ketika dia membawa kue itu kepadanya, dia meraihnya dan memintanya untuk tidur dengannya. Dia menolak, berkata, “Tidak kakakku, jangan perkosa aku, sebab orang tidak berlaku seperti itu di Israel. Janganlah berbuat noda seperti itu” (2 Sam. 13:12). Dia menolak untuk mendengarkan permohonannya dan "sebab ia lebih kuat dari padanya, diperkosanyalah dia, lalu tidur dengan dia" (2 Sam. 13:14). Setelah dia memperkosanya, dia menatapnya dengan jijik dan dengan penuh kebencian menyuruhnya pergi.

Hedonisme radikal berpendapat bahwa tujuan utama manusia dalam hidup adalah kenikmatan dan dia harus melakukan apa pun yang diinginkannya untuk merasakan kenikmatan. Dalam cerita di atas, Amnon ingin merasakan kenikmatan berhubungan seks dengan adiknya. Oleh karena itu, menurut hedonisme, dia sepenuhnya dalam haknya ketika dia memaksanya [Tamar] untuk memuaskan pencariannya akan kenikmatan.

Beberapa hedonis mungkin menyela pada titik ini dan berkata, “Itu tidak benar. Kami tidak menganjurkan untuk menyakiti orang lain demi mendapatkan kenikmatan diri kami sendiri.” Sebaliknya, kita akan menunjukkan bahwa dengan berdebat seperti itu mereka telah melepaskan premis fundamental dari filosofi hedonism, “Jika rasanya enak, lakukanlah.” Mereka tidak bisa memegang keduanya. Di satu sisi kita diizinkan untuk mencari kenikmatan, tapi di sisi lainya tidak. Standar mutlak apa yang akan digunakan oleh hedonis yang lebih bermartabat untuk mencoba mengendalikan petualangan mencari kenikmatan dari orang lain? Apa yang menyenangkan bagi saya mungkin tidak menyenangkan bagi Anda; tapi siapa Anda mau mengatakan kepada saya bahwa saya harus mencari jenis kenikmatan Anda dan bukan jenis kenikmatan saya?

Ini adalah dilema yang tidak dapat diatasi oleh para hedonis. Jika mereka berdebat bahwa mengejar kenikmatan tertentu berada di luar batas, maka mereka akan harus menunjukkan beberapa standar objektif untuk membuktikan pernyataan mereka. Jika mereka menunjuk pada Alkitab sebagai standar objektif untuk mengutuk pemerkosaan, maka mereka harus menerima semua hal lain yang dikutuk oleh Alkitab. Ini akan mencakup beberapa jenis hedonisme mereka sendiri, jadi mereka tidak mampu untuk beralih ke Alkitab untuk mengutuk perilaku orang lain. Tetapi jika mereka tidak dapat beralih ke Alkitab untuk mengatur perilaku manusia, maka standar objektif apa lagi yang bisa mereka gunakan? Tidak ada! Karenanya, agar konsisten dengan filosofi hedonisme, mereka tidak dapat mengutuk bentuk pencarian kenikmatan orang lain hanya karena hal itu tidak sesuai dengan gaya pencarian kenikmatan mereka sendiri. Akibatnya, semua perilaku manusia dapat diterima selama kenikmatan adalah sasaran utama. Akan seperti apa dunia, jika setiap orang mengejar kenikmatannya sendiri tanpa memperhatikan bagaimana hal itu mempengaruhi orang lain? Sayangnya, sebagaimana kita melihat bangsa kita sendiri, dan kecenderungan hedonistiknya yang meningkat, itu tidak terlalu sulit untuk dibayangkan.


9. Salomo. Kehidupan Salomo membuktikan bahwa hedonisme diwujudkan dalam berbagai bentuk. Seseorang tidak harus menjadi pemerkosa seperti Amnon baru tergolong hedonis. Dalam diari Salomo yang diilhami, kitab Pengkhotbah, Salomo memberi kita sekilas tentang beberapa hal-hal yang dia kejar dalam upaya untuk menemukan kebahagiaan. Oleh pengakuannya sendiri, dia pernah hidup sebagai seorang hedonis. Pertimbangkan kata-katanya: “Aku berkata dalam hati: "Mari, aku hendak menguji kegirangan! Nikmatilah kesenangan!”” (Pkh. 2:1). Dalam pencariannya untuk memenuhi hidup, Salomo tenggelam dalam kenikmatan. Seperti yang dijelaskan oleh para hedonis Epikuros sebelumnya, dia tidak hidup dalam pengabaian total, tetapi dia mengejar kenikmatan. Dia mencoba untuk menemukannya dengan kebijaksanaan dan pengetahuan yang hanya membuatnya menemukan bahwa semakin dia tahu semakin dia sedih (Pkh. 1:16-18).

Dia bereksperimen dengan minuman alkohol untuk melihat apakah itu bisa memberinya kenikmatan yang dia cari dengan mati-matian. Dia berkata, “Aku menyelidiki diriku dengan menyegarkan tubuhku dengan anggur, -- sedang akal budiku tetap memimpin dengan hikmat” (Pkh. 2:3). Perhatikan bahwa, seperti hedonis Epikuros, Solomon tidak berniat menjadi pecandu alkohol. Sebaliknya, dia ingin minum dengan tetap menjaga harkat dan martabatnya.

Dia menjadi gila kerja, menghabiskan seluruh waktunya membangun rumah, menanami kebun anggur, kebun, kebun buah-buahan, dan membuat kolam. Dia mengisi istananya dengan pelayan, gadis, dan anak-anak yang lahir dari pelayan dan gadis ini. Penyanyi pria dan penyanyi wanita dan kenikmatan anak manusia menggodanya. Selain itu, ia menjadi kaya melebihi segala deskripsi, memiliki sejumlah besar ternak, perak, emas, dan harta khas raja-raja dan provinsi-provinsi. Dia sangat kaya sehingga dia bisa membeli apa pun yang dia lihat. Secara langsung menentang instruksi Tuhan, Dia mengelilingi dirinya dengan ratusan wanita asing yang cantik (1 Raj. 11:1-3).

Apa yang ditinggalkan oleh hiruk-pikuk hedonistik Salomo? Dengarkan kata-katanya:

Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin…. Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari (Pkh. 1:14; 2:11).

Pengejaran kenikmatan Salomo membuatnya kosong dan tidak puas. Selain itu, istri-istrinya memalingkan hatinya dari Allah dan mengorbankannya kerajaan (1 Raj. 11:4-12).

10. Dua Orang Kaya Bodoh. Kitab Lukas mencatat kisah tentang dua orang yang gagal untuk belajar bahwa “walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Lukas 12:15). Untuk membuktikan poin ini, Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang kaya yang kekayaannya terus tumbuh dan berkembang. Namun, ketimbang memuliakan Allah karena kelimpahan berkat yang telah diterimanya, orang kaya itu memberikan semua penghargaan bagi dirinya atas apa yang telah dilakukannya. Selanjutnya, alih-alih menjadi kaya dalam perbuatan baik, dan siap membagikan kelebihannya kepada yang membutuhkan (1 Tim. 6:17-18), orang kaya itu mengadopsi filosofi Epikuros untuk menjaga semuanya untuk kenikmatannya sendiri, dan berkata kepada jiwanya, “beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” (Lukas 12:19). Allah menyatakan bahwa orang itu bodoh karena keangkuhan dan kepicikannya. Dia juga mengumumkan bahwa jiwanya akan diambil darinya malam itu juga. Dengan demikian, semua kekayaan duniawinya akan ditinggalkan untuk dinikmati orang lain.

Orang kaya terkemuka lainnya dalam Perjanjian Baru dijelaskan dalam Lukas 16:19. Dia “selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.” Hidupnya hanya melakukan pemborosan dalam kemewahan sedangkan Lazarus, si pengemis, hidup dalam kemiskinan. Meskipun nas Alkitab tidak secara eksplisit menyebut orang kaya di Lukas 16 sebagai “orang bodoh”, Tingkah lakunya tidak kalah bodohnya dengan orang kaya dalam Lukas 12. Dia menimbun semua kekayaannya untuk kenikmatan egoisnya sendiri, sepenuhnya tidak peduli kebutuhan pengemis yang berbarin di pintu rumahnya.

Ketika orang kaya itu meninggal, dia mendapati dirinya sengsara (Lukas 16:23). Sementara itu, Lazarus, yang juga telah meninggal, sebaliknya menemukan keberuntungannya. Dia tidak lagi lapar dan kesakitan. Sebaliknya, dia berada dalam penghiburan pangkuan Abraham (Lukas 16:22). Orang kaya itu tidak lagi kaya. Dalam kondisi spiritualnya yang miskin, dia sekarang adalah pengemis. Dia memohon kepada Lazarus untuk “mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku” (Lukas 16:24).

Sebagai jawabannya, Abraham mengingatkannya akan kesenangan yang dia nikmati dalam hidupnya di bumi (lih., Yak 5:5), dan atas rasa sakit yang telah diterima Lazarus, dia mendapat hiburan dan orang kaya sangat menderita. Sekarang, bagaimanapun, kenikmatan orang kaya itu telah hilang dan berhenti sepenuhnya. Dia tidak akan pernah tahu lagi tentang sukacita; rasa sakit akan menjadi pendamping abadi baginya. Apakah itu layak? Apakah semua kenikmatan duniawi yang dia ketahui sepadan dengan siksaan yang tak henti-hentinya ini? Salah satu kebohongan terbesar yang terkait dengan hedonisme adalah kita tidak akan pernah menderita akibat apa pun karena mengejar kenikmatan duniawi. Dua orang kaya bodoh ini memberi tahu kita cerita yang berbeda.

11. Anak yang Hilang. Yesus, dalam Lukas 15, melukiskan salah satu dari gambaran yang lebih jelas tentang hedonisme dalam Alkitab bagi kita. Dia memberikan perumpamaan tentang dua anak laki-laki. Anak bungsu dari dua bersaudara sudah bosan menunggu ayahnya meninggal dan mewariskan warisannya. Jadi dia dengan berani meminta kepada ayahnya untuk segera membagikan harta yang akan menjadi warisannya. Kemudian nas menyatakan: “Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya” (Lukas 15:13).

Meninggalkan semua rasa tanggung jawab, anak muda itu mengejar kenikmatan dengan nafsu makan yang rakus. Dia sangat terobsesi dengan pencariannya akan kenikmatan dan tidak memperhatikan bahwa betapa cepat kekayaannya menguap. Tak lama kemudian, “dihabiskannya semuanya” (Lukas 15:14). Lalu masalah lebih buruk terjadi, kelaparan hebat timbul di negeri itu, dan dia benar-benar bangkrut. Dia tidak punya apa-apa. Dalam keputusasaan, dia mengambil pekerjaan memberi makan babi di ladang. Ketika dia mengamati bahwa babi memiliki lebih banyak makanan daripada dirinya, kenyataan pahit dari pesta hedonistiknya, dan konsekuensinya, runtuh di sekelilingnya. Dia ingat bahwa bahkan orang upahan di rumah ayahnya berlimpah-limpah makanan, sementara dia kelaparan. Oleh karena itu, dia membuat keputusan untuk pulang dan memohon status yang tidak lebih dari seorang upahan. Namun, ayahnya memberinya jauh lebih banyak.

Sekembalinya ke rumah ayahnya, dia menerima sambutan yang penuh kasih dan pelukan ayahnya. Selain itu, ayahnya mendandaninya dengan jubah yang terbaik dan memakaikan cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Lebih-lebih lagi, lembu tambun disembelih untuk anak yang lapar ini. Seperti banyak hedonis sebelum dia (dan sesudahnya), dia mengetahui bahwa kenikmatan dosa hanya berlangsung selama satu musim (Ibr. 11:25). Di sisi lain, kenikmatan yang tersedia bagi kita di rumah Bapa adalah yang paling murni dan paling permanen!

12. Demas. Tidak ada ceramah tentang keduniawian, dan tidak ada ceramah tentang hedonisme, akan lengkap tanpa mengacu pada Demas. Salah satu pernyataan yang paling menyedihkan di seluruh Alkitab tercatat di dalam 2 Timotius 4:10. Di dalamnya, Paulus menulis, “Karena Demas telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku.” Rekan kerja Paulus dalam pelayanan Injil (Kol. 4:14; Flm. 24), Demas menukar semuanya dengan kesenangan dunia yang cepat berlalu. Paulus tidak memberi kita semua detail tentang bagaimana Demas murtad. Kapan hubungan cintai ini dimulai? Apakah terjadi secara tiba-tiba, atau perlahan? Kita tidak diberitahu, dan sesungguhnya itu tidak masalah. Paulus memberi tahu kita bahwa akar penyebab kepergiannya adalah bahwa dia mencintai dunia saat ini. Hasilnya sama.

Rupanya, Demas dibutakan kenikmatan duniawi yang tidak pernah bisa menyamai harta surgawi. Sayangnya, semangat Demas masih hidup dan sehat hingga hari ini. Berapa kali kita melihat anggota gereja Tuhan yang dulu setia jatuh karena iming-iming kenikmatan duniawi? Mudah-mudahan, ceramah ini, dan buku ceramah ini, akan berbuat banyak untuk menghalangi beberapa orang di gereja Tuhan hari ini untuk mengikuti jalan Demas.

13. Berbagai Ayat Perjanjian Baru. Banyak ayat dalam Perjanjian Baru menunjukkan praktik hedonism pada satu tahap tertentu. Paulus menyebut mereka sebagai “hamba berbagai-bagai nafsu dan keinginan” (Tit. 3:3). Dia menggambarkan beberapa orang “lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah” (2 Tim. 3:4). Faktanya, “di antara mereka terdapat orang-orang yang menyelundup ke rumah orang lain dan menjerat perempuan-perempuan lemah yang sarat dengan dosa dan dikuasai oleh berbagai-bagai nafsu” (2 Tim. 3:6). Dia juga menubuatkan bahwa akan datang waktunya beberapa orang tidak mau lagi menerima ajaran yang sehat tetapi sebaliknya, “mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya” (2 Tim. 4:3). Seperti pada zaman Yesaya, mereka akan berkata, “Janganlah lihat bagi kami hal-hal yang benar, tetapi katakanlah kepada kami hal-hal yang manis, lihatlah bagi kami hal-hal yang semu” (Yes. 30:10).

Rasul Petrus juga menggambarkan perilaku hedonistik dari mereka yang telah “hidup dalam rupa-rupa hawa nafsu, keinginan, kemabukan, pesta pora, perjamuan minum dan penyembahan berhala yang terlarang” (1 Pet. 4:3). Dia juga menyebutkan orang-orang yang “menuruti hawa nafsunya karena ingin mencemarkan diri dan yang menghina pemerintahan Allah” (2 Pet. 2:10). Orang-orang yang sama ini “berfoya-foya pada siang hari, mereka anggap kenikmatan” dan “mempergunakan hawa nafsu cabul untuk memikat” (2 Pet. 2:13, 18). Banyak ayat menggambarkan berbagai individu sebagai " orang-orang yang hidup menuruti hawa nafsunya" (2 Pet. 3:3; Yudas 16, 18).

14. Demonstrasi hedonisme modern. Jelas, dan seluruh buku dapat ditulis untuk mencatat episode-episode hedonism zaman modern. Yang harus dilakukan untuk melihat demonstrasi hedonisme zaman modern adalah menyalakan televisi. Entah itu kejenakaan Howard Stern yang keterlaluan, vulgar, dan menghujat, atau penekanan menyesatkan dalam acara "Gaya Hidup Orang Kaya dan Terkenal," gelombang udara televisi dipenuhi dengan bujukan hedonistik. Tentu, media modern telah menjadi salah satu pelayan terbesar Setan dalam mencapai tujuannya untuk memusatkan pikiran kita pada hal-hal sekuler.

Melalui program televisi modern, antek-antek Setan (produser televisi, penulis naskah, dll.) terus-menerus menyerang dan membombardir dasar-dasar iman kita. Gelombang udara penuh dengan "visi elektronik" dunia yang begitu kejam, sensual dan narkotik yang pada masa kanak-kanak sendiri tampaknya dikepung” (U. S. News and World Report). Analis dan kolumnis Michael Novak menulis, “Moral publik kita sendiri budaya yang dibentuk terutama oleh televisi, bioskop dan musik adalah aib bagi umat manusia.” Bahkan Ladies Home Journal menerbitkan sebuah artikel berjudul ”Hidup di Saat yang Benar-Benar Hampa”, di mana penulis menegaskan:

Orang-orang Amerika tampaknya tidak terguncang sekarang, tidak peka bahkan terhadap kebrutalan murni—jangan menyebut kesopan-santunan sederhana—dan memiliki nafsu makan yang tak terpuaskan untuk apa pun yang pernah terjadi dianggap buruk, kasar, kasar, dan bahkan tidak bermartabat ... budaya populer kita menjadi lebih mencolok, lebih dari sampah, lebih vulgar dan eksploitatif.

Dan bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana televisi mendapatkan dari mana itu pada tahun 1950-an ke mana itu pada tahun 1990-an? Jawabannya cukup sederhana. Perlahan, tapi pasti, hamba-hamba Setan di media telah mematuk jauh dan menghilangkan kepekaan kita, terus merayu kita untuk memasrahkan keyakinan moral kita sampai kita praktis kehilangan kemampuan untuk merasa malu (lih. Yer 6:15). Seperti katak di dalam ceret, tanpa terasa kita telah direbus, direbus lama menuju dosa, satu derajat penuh. 

Misalnya, mengontraskan sikap terhadap homoseksualitas hari ini dengan beberapa tahun yang lalu. Ternyata lebih banyak toleransi terhadap homoseksualitas hari ini daripada di masa lampau. Dan mengapa? Sekali lagi, itu karena Setan telah memanfaatkan hamba-hambanya di media untuk melunakkan keberatan moral kita. Pada tahun 1991, program televisi L. A. Law memperkenalkan penontonnya kepada karakter biseksual C. J. Lamb. Amanda Donohoe, yang memerankan C. J., berkata, “C. J. sedekat mungkin Anda memiliki kepribadian saya dalam peran fiksi. Apa yang telah saya putuskan untuk dibawa ke C. J. adalah kepekaan saya, pandangan politik saya, dan moral saya.” Apa moral Donohoe? Dia pernah membintangi Lair of the White Worm, sebuah film di mana karakternya meludahi salib. Mengomentari adegan dalam film ini, dia berkata, “Saya seorang ateis, jadi itu benar-benar menyenangkan. Meludahi Kristus sangat menyenangkan—terutama bagi saya sebagai wanita ... Saya tidak bisa memeluk dewa pria yang telah menganiaya seksualitas wanita di sepanjang zaman.” Hamba Setan ini ditunjukkan mencium mulut wanita lain pada tanggal 7 Februari 1991, episode L. A. Law. Itu hanyalah satu contoh lagi dari iblis yang mencoba menggambarkan sebagai hal normal apa yang telah Allah tetapkan tidak normal.

Penulis lagu modern mempromosikan hedonisme dalam lirik yang Setan sendiri bisa tulis. Grup penyanyi populer yang dikenal sebagai Salt N 'Pepa punya lagu berjudul, "Bukan Urusanmu." Lagu tersebut berisi lirik berikut: “Jika aku ingin membawa pulang seorang pria bersamaku malam ini, itu bukan urusanmu; jika dia ingin bertingkah dan menjualnya di akhir pekan, itu bukan urusanmu.” Penulis ini lebih tahu dari seorang ibu Kristen yang telah membeli compact disc yang berisi lagu ini sebagai hadiah untuk putri remaja mereka.

Untuk lebih banyak bukti hedonisme, silakan baca. Lihat headline di majalah yang terletak di sebelah kasir di supermarket dan Anda akan melihat hedonisme dipersonifikasikan. Salah satu penulis populer dari artikel untuk "majalah wanita" adalah Helen Gurley Brown. Di salah satu artikelnya, dia mendefinisikan ulang arti pergaulan bebas. Dulu pergaulan bebas berarti “memiliki hubungan seksual dengan lebih dari satu orang, di luar nikah.” Namun, Helen Gurley Brown menulis bahwa pergaulan bebas adalah: “Melakukan hubungan seksual dengan lebih dari satu orang di hari yang sama.”10 Filosofi asmara ini bukanlah hanya terbatas pada rak majalah. Dengan hanya mengintip beberapa judul buku di toko buku lokal, orang akan melihat pengaruh dari hedonisme. Selanjutnya, buku-buku seperti Heather Has Two Mommies menargetkan anak-anak untuk menerima agenda homoseksual. Buku ini berusaha menjelaskan bahwa seorang gadis kecil bernama Heather memiliki keluarga seperti anak-anak lain; dia baru saja memiliki dua ibu. Dengan kata lain, Heather memiliki dua lesbian sebagai orang tua. Buku ini selanjutnya menjelaskan kepada para pembaca mudanya bahwa Keluarga Heather tidak aneh atau pantas mendapat kecaman. Memang, hedonisme hidup dan sehat di planet bumi!

Bahkan di gereja modern, ada contoh anggota yang lebih giat mencari kenikmatan daripada melakukan hal-hal bagi Allah. “Keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah” (Markus 4:19). Rekreasi, liburan, dan pekerjaan kitan sering menyibukkan kita dari tujuan yang diberikan Allah. Setan tidak keberatan mengunjungi bangku gereja sesekali jika kita duduk di kursi malas sisa di hidup kita.

Kebenaran yang jelas dari masalah ini adalah bahwa kita terlalu sering menempatkan pekerjaan Tuhan dalam pembakar belakang sementara kita dengan egois mengejar kesenangan kita sendiri. Melihat huruf akhir dosa menangkap dorongan dosa. Huruf akhirnya adalah "Aku." Justru di situlah masalah muncul. Aku akan melakukan apa yang ingin aku lakukan, ketika aku ingin melakukannya, tetapi aku tidak akan melakukan apa yang membuat aku tidak nyaman untuk berjalan di seberang jalan untuk berbicara dengan tetanggaku tentang Yesus.

Seorang pengkhotbah dapat memanggil seorang anggota gereja dan memintanya untuk membantu dalam sebuah pelajaran Alkitab pada suatu malam selama kurang lebih satu jam dan menerima jawaban negatif bahwa anggota gereja terlalu sibuk. Namun, pengkhotbah dapat memanggil anggota yang sama dan mengundangnya untuk bermain golf atau pergi ke pertandingan bola, ataupun pergi memancing/berburu, aktivitas yang semuanya memakan waktu lebih lama dari satu jam, dan tiba-tiba anggota gereja yang sibuk itu dapat menemukan langsung itu pertama dalam jadwalnya. Mengapa? Karena dia mencintai dunia lebih dari dia mencintai kerohanian.

HEDONISME DIKALAHKAN

Filsafat Hedonisme dapat dikalahkan, baik secara filosofis maupun secara alkitabiah. Kelemahan filosofis hedonisme terlihat pada apa yang dikenal sebagai "paradoks hedonistik." R.C. Sproul menjelaskan:

Jika hedonis gagal mencapai ukuran kesenangan yang dia cari, dia pasti mengalami frustrasi. Frustasi itu menyakitkan. Jika kita gagal menemukan kesenangan yang kita cari, hasilnya adalah frustasi dan sakit rasanya. Semakin kita mencari kesenangan dan semakin kita gagal mencapainya, semakin banyak rasa sakit kita perkenalkan ke dalam hidup kita. Di sisi lain, jika kita mencapai semua kesenangan yang kita cari kita menjadi jenuh dan bosan. Kebosanan adalah lawan dari frustrasi; itu juga menyakitkan bagi pencari kesenangan. Lagi, paradoksnya: jika kita mencapai apa yang kita inginkan, kita kalah; jika kita tidak mencapai apa yang kita cari, kita kehilangan. Akibat dari hedonisme adalah kebalikan dari tujuannya. Buahnya hanyalah rasa sakit yang luar biasa.11

Dari sudut pandang alkitabiah, hedonisme dikalahkan oleh pengingat konstan dalam Kitab Suci sebagai akibat dari mengejar kenikmatan daging. Alasan Roh Kudus memimpin Yohanes untuk menulis, “Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya” (1 Yohanes 2:15) ada dua. Pertama, kita tidak boleh mencintai dunia karena “semua yang ada di dalam dunia ... bukanlah berasal dari Bapa” (1 Yohanes 2:16). Jika kita mencintai dunia, kita menjadikan diri kita musuh Allah (Yakobus 4:4), dan kasih Bapa tidak ada di dalam kita (1 Yohanes 2:15). Alasan kedua kita tidak boleh mencintai dunia adalah karena " dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya” (1 Yohanes 2:17).

Dalam Mazmur 73, pemazmur mengakui kecemburuannya pada orang hedonistik yang hidup makmur di dunia dan bertambah kaya, walaupun dia tidak peduli dengan Allah (Mazmur 73:1-10). Sedangkan orang jahat tampaknya kebal terhadap penderitaan, pemazmur menyesali bahwa meskipun dia telah berusaha untuk melayani Allah, dia diganggu dan dihajar sepanjang hari. Ini adalah dilema yang menyakitkan dan membingungkan bagi pemazmur sampai dia melihat akhirnya. Pemazmur mengetahui bahwa orang fasik, yang hidup di pangkuan kemewahan dalam hidup ini, akan menerima makanan penutupnya yang adil di kehidupan selanjutnya (Mazmur 73:22). Sebaliknya, manusia yang saleh akan menerima hak istimewa untuk meninggalkan keberadaannya di bumi yang menyakitkan ini untuk hidup dalam kemuliaan bersama Allah selama-lamanya (Mazmur 73:23-24). Oleh karena itu, hidup bagi Allah dalam kehidupan ini adalah layak diterima, bahkan jika kehidupan seperti itu menuntut pengorbanan.

Rasul Paulus tahu sesuatu tentang rasa sakit dan pengorbanan yang dialaminya dalam melayani Tuhan (2 Kor. 11:23-28). Namun, alih-alih mencari kesenangan duniawi di sekelilingnya, ia mencari “senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus” (2 Kor. 12:10). Dia melakukan ini karena membuatnya kuat secara spiritual. Pemazmur menyatakan, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu” (Mazmur 119:71).

Mengapa Paulus melatih tubuhnya dan menguasainya (1 Kor. 9:27) daripada membiarkan dosa menguasai tubuh fananya? Ia menjawab, “supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” (1 Kor. 9:27). Paulus berkata, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm. 8:18). Tidak heran Paulus bersedia untuk berjuang dalam perjuangan iman yang baik dan mencurahkan dirinya sebagai persembahan. Dia tidak pernah mengalihkan pandangannya dari mahkota kehidupan yang menunggunya (2 Tim. 4:6-8; Yak. 1:12).

Terkadang rasa haus kita akan kesenangan tertentu adalah awal dari kejatuhan. Misalnya, para penjebak monyet di Afrika Utara memiliki cara cerdas menangkap buruannya. Mereka membuat celah pada sejumlah labu, mengisinya dengan kacang, dan mengikatkan ke cabang pohon. Lubangnya cukup sebesar monyet itu bisa memasukkan cakar depannya ke dalamnya. Namun, ketika monyet lapar itu menggenggam segenggam kacang, makan lubang akan menjadi sempit untuk menarik telapak tangannya yang mengepal. Karena sangat gelisah, monyet mulai meraung sebab ketidakmampuannya untuk mengambil bagian dari apa yang ada di cengkeramannya. Para penjebak hanya meniru suara persis raungan ini untuk mendapatkan buruannya. Monyet itu tentu saja bisa melepaskan genggaman kacang itu dan menarik tangannya keluar dari labu, tetapi nafsunya terhadap kacang ini begitu besar sehingga dia kehilangan semua naluri sehat dan membiarkan dirinya dibawa ke dalam perbudakan.

Bukankah ini gambaran banyak orang hari ini? Dengan perangkat liciknya, iblis menarik selera tubuh. Selama kita bertahan terhadap umpan duniawi, kita tidak bisa lepas dari jebakan setan. Setan terus mendesak, “Jangan lepaskan! Nikmati kesenangan dari dosamu sedikit lebih lama!” Inilah inti dari hedonisme. Namun, jangan pernah lupakan bahwa "keinginan daging adalah maut" (Rm. 8:6). Karena alasan itulah Paulus menggambarkan orang yang hidup dalam kesenangan sebagai "ia sudah mati selagi hidup” (1 Tim. 5:6). Hedonisme adalah filosofi yang mematikan! Kita harus menyadari bahwa ketika nafsu telah mengandung, ia melahirkan dosa, dan ketika dosa sudah matang, ia akan melahirkan maut, kematian kedua yaitu lautan api yang kekal (Yakobus 1:13-15; Wahyu 21:8). Jadi, kita perlu berhati-hati agar hati kita tidak terbebani oleh kesenangan, kemabukan, dan kekuatiran hidup ini, dan kita didapati tidak siap pada hari ketika Tuhan akan menghakimi kita (Lukas 21:34).

KESIMPULAN

Saat kita berdiri melawan tipu muslihat iblis, marilah kita mengingat nasihat dari Kitab Suci berikut ini:

• Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya (Rm. 6:12).

• Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (Gal. 5:16, 24).

• Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala (Kol. 3:5).

• Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni (2 Tim. 2:22)

• Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya (Rm. 13:14).

Selain nasehat di atas, perkataan Petrus berikut tampaknya sangat cocok sebagai kesimpulan dari pelajaran ini:

Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa. Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka (1 Pet. 2:11-12)

Catatan Akhir
1 Antony Flew, A Dictionary of Philosophy (New York, NY: St. Martin’s Press, 1988), p. 138.
2 R. C. Sproul, Lifeviews: Make An Impact on Culture and Society (Old Tappan, NJ: Fleming H. Revell, 1986), p. 130.
3 T. Rees, “Epicureans,” International Standard Bible Encyclopedia, ed. James Orr (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1956), 2:964.
4 Webster’s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English Language (New York, NY: Gramercy Books, 1996), p. 652.
5 Ibid.
6 Rees, 2:965.
7 Semua ayat Alkitab dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru (LAI) kecuali ada versi lain terindikasi.
8 Sproul, pp. 131-132.
9 William S. Sahakian, History of Philosophy (New York, NY: Barnes and Noble Books, 1968), p. 45.
10 Sproul, p. 136.
11 Ibid., p. 131.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar